Sebagai pemimpin negara, menjaga netralitas dan menghormati prinsip-prinsip demokrasi adalah tanggung jawab utama Presiden Jokowi dalam mengawasi proses Pemilu. #kbanews
JATIM | KBA – Ketidaknetralan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dalam Pemilu 2024 menjadi masalah serius bagi integritas demokrasi Indonesia. Apalagi, cawe-cawe presiden dalam pesta demokrasi juga disorot Komite Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Menurut Trio inisiator Gerakan Masyarakat Sipil Selamatkan Demokrasi Indonesia (Gemassdin) Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Medan Amrullah, Muchlas Savalas dan Siti Khotifah, ketidaknetralan Presiden Jokowi dalam pemilu menjadi bumerang di mata dunia internasional.
‘’Apalagi, berdasarkan data, indeks Demokrasi Indonesia terus menurun sejak tahun 2019 di masa kepemimpinan Presiden Jokowi,’’ terang Medan Amrullah kepada KBA News, Minggu, 17 Maret 2024.
Ditambahkan, sebagai presiden, netralitas Jokowi terhadap proses Pemilu 2024 sangat penting untuk menjaga integritas dan keadilan dalam pelaksanaannya. Jokowi diharapkan untuk memastikan bahwa proses Pemilu berlangsung sesuai dengan azas luber dan jurdil. Tanpa intervensi politik dari pihak manapun, termasuk dirinya sendiri atau pihak yang terkait dengan pemerintahannya.
‘’Sebagai pemimpin negara, menjaga netralitas dan menghormati prinsip-prinsip demokrasi adalah tanggung jawab utama Presiden Jokowi dalam mengawasi proses Pemilu. Tapi, presiden cawe-cawe yang dimulai dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah batasan usia cawapres,’’ papar Medan.
Diutarakan Muchlas Savalas, selama proses Pemilu 2024 yang lalu, ada beberapa kontroversi yang muncul terkait dengan sikap Presiden Jokowi yang dianggap tidak netral. Contohnya, dukungan terhadap Paslon 02. Meskipun secara resmi Presiden Jokowi harus menjaga netralitasnya, namun ada beberapa insiden di mana dukungan atau preferensi terhadap Paslon 02.
‘’Hal ini bisa tercermin dari beberapa tindakan atau pernyataan “cawe-cawe” yang mendukung paslon pengusung putra mahkota presiden, baik secara langsung maupun tidak langsung,” terang Muchlas Savalas.
Tidak hanya itu, ada juga keterlibatan Presiden Jokowi dalam beberapa kampanye politik selama proses Pemilu. Ini bisa dianggap sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan netralitasnya sebagai kepala negara.
‘’Terdapat laporan-laporan tentang penggunaan sumber daya pemerintah untuk mendukung atau memengaruhi hasil pemilu bagi kepentingan tertentu, yang dapat merusak integritas proses demokratis.’’
Siti Khotifah menambahkan, bukan rahasia umum lagi, bahwa personifikasi triliunan dana bansos sebagai bantuan atas nama personal Presiden Jokowi dan program-progra bantuan sosial lainnya. Mengutip pendapat Eep Saifulloh, pemilu 2024 adalah pemilu yang paling buruk sepanjang era reformasi.
‘’Maka tidak heran kalau muncul tuntutan di mana-mana yang menolak pemilu curang, dukung hak angket, mendorong pemakzulan Jokowi oleh DPR RI/MPR RI,’’ ungkap Siti Khotifah.
Memang, lanjut Siti Khotifah, perlu adanya introspeksi dari Presiden Jokowi dan lembaga-lembaga Indonesia terkait dengan tata kelola demokrasi di negara ini, terutama mengingat sorotan dari media internasional dan PBB, yang menyoroti permasalahan yang muncul.
Menurut dia, sorotan dari Komite HAM PBB terhadap demokrasi Indonesia memberikan makna penting bagi gerakan perubahan, gerakan mahasiswa, dan para aktivis demonstrasi. Ini menunjukkan bahwa isu-isu demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia menjadi perhatian global, yang dapat memberikan momentum bagi upaya perubahan dan advokasi untuk peningkatan demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia.
‘’Sebagai presiden, netralitas Jokowi pada Pemilu 2024 sangat penting untuk menjaga integritas dan keadilan dalam pelaksanaan pesta demokrasi.’’ (kba).