Saya berteriak kepada mereka bahwa polisi harus melindungi rakyat, dan mereka digaji dari pajak yang kami bayar. Harusnya mereka melindungi kami, bukan kami berbenturan dengan polisi.#kbanews
JAKARTA | KBA – Rena, aktivis Front Pembela Reformasi (FPR), terkesiap. Jantungnya bergegup kencang gegara dibakar kemarahan dan kecemasan.
Hal ini karena pasukan Brimob Polres Jakarta Pusat terus merangsek maju supaya para aktivis aksi hak angket menjauh dari depan Kompleks DPR/MPR/DPD RI di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Selasa, 19 Maret 2024 malam.
Pada hari nahas itu, menjelang sekitar pukul 20.00 WIB, aksi demo hak angket berusaha dibubarkan oleh aparat Polri yang di-back up pihak TNI.
Hal ini karena lewat pengeras suara dari mobil komando polres terdengar supaya massa segera membubarkan diri karena batas toleransi waktu dari aksi demo sejak pukul 14.00 WIB, telah habis.
Sontak, pasukan polisi mulai merangsek maju, selangkah demi selangkah, yang dikomando dari mobil tersebut. Ribuan aktivis pun mundur setelah terjadi negoisasi antara kordinator aksi dengan pihak kepolisian agar membebaskan dua aktivis yang sempat ditahan lantaran bertahan di lokasi demo.
Para aktivis pun mundur sembari terus meneriakkan yel-yel bahwa Pemilu 2024 termasuk pilpres berlangsung penuh kecurangan. Pun dituntut agar para wakil rakyat di parlemen segera menggelar hak angket sekaligus pula untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo.
Sempat terjadi aksi dorong-mendorong antara aparat dan para aktivis yang didominasi kaum wanita, terutama emak-emak. “Saya terinjak-injak ketika polisi-polisi itu maju,” kenang Rena.
Ditemui KBA News di Markas Timnas AMIN, Jalan Diponegoro Nomor 10, Jakarta Pusat, Rena malam itu masih berbicara tersendat-sendat,. Dadanya masih sakit, dan sesekali mulutnya masih mengeluarkan bercak-bercak darah.
“Kondisi situasional waktu itu, kami (relawan capres Anies Baswedan dan cawapres Muhaimin Iskandar atau AMIN) berhadap-hadapan dengan pasukan polisi bertameng, jaraknya sekitar satu meter,” tutur wanita berusia 40-an bertubuh kekar ini.
Waktu itu, Rena mengaku berada di antara para aktivis dan pasukan polisi. Dalam pandangan Rena, para personel polisi berusia remaja itu, sudah seperti robot, terus merangsek maju dengan wajah dan langkah-langkah kaki-kaki yang kaku, seperti juga wajah mereka.
“Saya berteriak kepada mereka bahwa polisi harus melindungi rakyat, dan mereka digaji dari pajak yang kami bayar. Harusnya mereka melindungi kami, bukan kami berbenturan dengan polisi,” kata Rena.
Kemudian, terdengar suara ‘dua langkah maju’ dari pengeras suara. “Itu yang membuat kami merasa tertantang, dan saya berusaha mendorong polisi-polisi agar mereka jangan bergerak maju,” lanjutnya.
Rena terkesiap ketika mendadak dia melihat ketiga emak-emak itu enggan mundur walaupun pasukan polisi terus merangsek maju.
Sontak Rena membalikkan badan kemudian merangkul ketiganya sambil memasang kuda-kuda sepasang kakinya sekuat mungkin.
“Tapi karena dorongan massa aktivis, tubuh ketiga ibu itu terlepas, sedangkan saya hilang keseimbangan. Saya tersungkur jatuh, dan polisi-polisi itu pun maju begitu saja, saya akhirnya terinjak-injak,” ujarnya.
Menjelang tak sadarkan diri, sayup-sayup Rena mendengar suara ‘ada perempuan jatuh’, dan dia sempat melihat seorang aktivis digetok kepalanya oleh tongkat polisi hingga berdarah.
“Kemudian, saya nggak ingat lagi bahwa ternyata saya dibawa ke mobil ambulans oleh teman-teman. Saya berterima kasih kepada teman-teman yang sudah menolong saya,’ katanya, lirih.
Testimoni Rena ini juga disampaikan di hadapan hadirin dalam acara konsolidasi pejuang Perubahan terkait rencana aksi damai pada Rabu, 27 Maret 2024 pagi di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
“Insya Allah, jika kesehatan saya memungkinkan, saya berencana ikut aksi di Mahkamah Konstitusi,” harapnya. (kba).