Faktanya, nama Anies Baswedan tidak terpengaruh dan tidak tergeser sedikitpun oleh cara-cara yang dilakukan para politisi lainnya dalam survei capres potensial menuju Pilpres 2024.
Nama Anies Baswedan mulai muncul dan menjadi perhatian publik luas ketika ia menjabat Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, periode 2007-2015. Pada usia 38 tahun, ia pun tercatat sebagai rektor termuda di Indonesia.
Karier Anies di bidang akademik memang tak perlu diragukan. Ia lahir dari keluarga akademisi. Ia dilahirkan di Kuningan, Jawa Barat, pada 7 Mei 1969, dari pasangan Rasyid Baswedan dan Aliyah Rasyid.
Rasyid, sang ayah, pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia (UII). Sang ibu, Aliyah, adalah Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Dari garis ayahnya, Anies juga merupakan cucu pejuang nasional Abdurrahman Baswedan.
Setelah lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Anies melanjutkan kuliah S2 di University of Maryland, Amerika Serikat (AS). Di AS pula ia menamatkan S3-nya di Northern Illinois University. Setelah lulus dan kembali ke Tanah Air, Anies menggulirkan program Indonesia Mengajar — sebuah gerakan yang menginspirasi kaum muda untuk membaktikan diri dengan mengajar di pelosok-pelosok daerah terpencil di Indonesia.
Anies lalu merambah dunia politik. Tahap pertama terjun ke politik dengan mengikuti Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat. Ia menerima undangan dari partai besutan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono itu bersama 11 orang lainnya pada Agustus 2013.
Konvensi itu tak berlanjut sampai kontestasi Pemilihan Presiden 2014 karena suara Partai Demokrat merosot drastis setelah dihantam kasus korupsi sejumlah kadernya.
Setelah Jokowi-Jusuf Kalla (JK) memenangi Pilpres 2014, Anies Baswedan dipercaya menjadi Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah dalam Kabinet Kerja 2014-2019. Namun, kursi menteri tak bertahan lama. Ia terkena reshuffle pada Juli 2016.
Tak butuh waktu lama. Tanpa disangka, ia memutuskan maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Meskipun saat itu dia tak memiliki partai, tetapi elektabilitasnya menjanjikan. Namanya dilirik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerindra.
Dua partai itu sepakat mengusung Anies bersama Sandiaga Uno untuk bisa mengalahkan calon petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat yang diusung PDIP. Anies-Sandi pun menang di Pilkada 2017. Proses pelantikannya dilakukan di Istana Kepresidenan pada 16 Oktober 2017.
Namun, belum genap setahun, Anies harus mengemban DKI Jakarta sendirian setelah Sandiaga mengundurkan diri pada Agustus 2018 karena mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden pada Pilpres 2019. Kursi Sandi digantikan kader Partai Gerindra Ahmad Riza Patria yang resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta di Istana Negara pada 15 April 2020.
Potensi di Pilpres 2024
Meski tanpa memasang baliho di pinggiran jalan, elektabilitas Anies Baswedan tetap paling “moncer” di berbagai survei untuk Capres 2024. Ia bahkan menaklukkan para politisi yang getol mamajang baliho di berbagai sudut jalan dan daerah untuk menggaet simpati masyarakat. Paling tidak, agar mereka lebih dikenal oleh masyarakat akar rumput.
Namun, apa mau dikata, faktanya nama Anies Baswedan tidak terpengaruh dan tidak tergeser sedikitpun oleh cara-cara yang dilakukan oleh para politisi tersebut. Misalanya, dalam survei oleh Indonesia Political Opinion (IPO), Anies unggul dalam survei elektabilitas. Survei yang dilangsungkan pada 2-10 Agustus 2021, ia memperoleh 18,7 persen dukungan. Anies unggul dibandingkan 19 tokoh potensial lainnya.
“Survei kali ini, misalnya, kami ukur ada 20 nama tokoh. Yang kami ukur elektabilitasnya terkait perspektif publik. Nama muncul pertama kali masih teratas Anies Baswedan (18,7%), disusul Ganjar Pranowo (16,5%), Sandiaga Uno (13,5%), dan AHY (9,9%),” kata Direktur Eksekutif IPO Dedi Kurnia Syah pada diskusi virtual Polemik MNC Trijaya “Pandemi dan Konstelasi Politik 2024”. (kba)