Di sini kematangan iman dan kedewasaan mental seorang muslim diuji satu sama lain, bukan dengan mengobarkan permusuhan atau menghentikan pertemanan.
KALAM UI merupakan singkatan dari Keluarga Alumni Masjid Universitas Indonesia. Saat ini diketuai Andy Azisi Amin, alumnus FE UI (1993), magister dari Universitas of Illinois, AS (1999)–dua kampus yang juga almamater Menteri Keuangan Sri Mulyani.
KALAM UI, sebagaimana organisasi lain yang anggotanya umat Islam, menerbitkan kalender Hijriyah baik versi cetak dalam format lengkap setahun maupun versi digital yang dipublikasikan harian melalui grup WA.
Format kalender hijriyah KALAM UI adalah jadwal salat wajib lima waktu di sejumlah kota besar Indonesia (Jakarta, Bandung, Serang, Semarang, Jogja, Surabaya). Sumber jadwal diambil dari Sistem Informasi Manajemen Bimas Islam (SIMBI) Kementerian Agama Republik Indonesia (http://simbi.kemenag.go.id/). Selain itu, ada tambahan informasi tentang renungan ayat Al Qur’an hari ini dan hadits Nabi Muhammad ﷺ.
Untuk hari ini, Rabu 27 Maret 2024/16 Ramadan 1445 H, hadits yang ditampilkan adalah berikut ini:
———-
Rasulullah ﷺ bersabda: “Ada tiga golongan yang tidak masuk surga, yaitu pecandu arak, pemutus silaturahmi, dan orang-orang yang percaya sihir.” (HR Ahmad).
———
Arak pada terjemahan itu tidak mengacu spesifik pada minuman hasil fermentasi nira dari tanaman siwalan atau lontar ( Borassus flabellifer), melainkan penunjuk pada minuman keras yang mengandung alkohol secara umum, tersebab redaksi asli hadits itu dalam bahasa Arab adalah khamr (خَمْر). Sehingga, terjemahan yang lebih tepat adalah ‘pecandu minuman keras’ yang jenisnya beraneka macam, bukan hanya arak saja.
Akan tetapi tulisan ini tidak akan panjang lebar membahas khamr, tidak juga tentang orang-orang yang mempercayai sihir.
Tulisan ini akan menyoroti frasa “para pemutus silaturahmi” dalam hadits Nabi secara elaboratif, terutama dalam konteks masyarakat dunia digital saat ini.
2/
Arti silaturahmi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (kbbi.web.id) adalah ‘tali persahabatan (persaudaraan)’. Ini definisi singkat namun memadai dibandingkan definisi semantik dalam bahasa Arab sebagai kajian linguistik yang bisa lebih luas dan mendalam. Dengan begitu, makna ‘para pemutus silaturahmi’ adalah orang-orang yang memutus tali persahabatan atau tali persaudaraan, sehingga komunikasi yang sebelumnya ada kini lenyap tak bersisa.
Memutus tali persaudaraan dalam arti spesifik adalah lenyapnya komunikasi di antara mereka yang lahir dari rahim ibunda yang sama, baik saudara kandung (satu bapak) atau saudara tiri (beda bapak). Sedangkan dalam arti umum adalah terputusnya kontak di antara mereka yang sebelumnya berada dalam lingkup keluarga besar dalam satu rumpun leluhur atau puak.
Maka berdasarkan hadits Nabi di atas, sebanyak apapun amal kebajikan seseorang, sebanyak apapun ibadah yang dikerjakannya, sebanyak apapun pengetahuannya tentang ilmu agama, jika orang itu memutus tali silaturahmi dengan keluarganya, maka dia termasuk dalam golongan orang-orang yang tidak akan masuk surga. Betapa rugi dan menyedihkan dengan semua amalan yang sudah dikerjakan.
Maka, manfaatkan Ramadan yang masih tersisa sekitar dua pekan lagi sebagai kesempatan emas untuk memulihkan buhul dan memperkuat simpul persaudaraan, karena belum tentu umur kita sampai pada Ramadan tahun depan.
3/
Berbeda dengan silaturahmi persaudaraan yang bersifat internal, silaturahmi persahabatan lebih bersifat eksternal. Termasuk di dalam persahabatan adalah perkawanan, konco palangkin, teman nongkrong, atau di era digital ini: mereka yang terhubung melalui satu atau lebih platform media sosial. Bisa sebagai sesama anggota grup WA, Telegram, atau saling terhubung ( follow) di Instagram, Facebook, dan aplikasi sosial lainnya.
Di era masyarakat industri konvensional ketika telepon seluler belum tercipta dan telepon rumah masih primadona alat telekomunikasi, salah satu cara memutus silaturahmi adalah dengan tak mau menerima telepon masuk dengan berbagai alasan. Sementara di era teknologi informasi saat ini, caranya jauh lebih mudah lagi. Para pemutus silaturahmi tinggal memblok nomer ponsel yang dihindari sehingga percakapan teks ( chat) dan pembicaraan langsung (WA Call atau Video Call) sudah tak bisa dilakukan lagi.
4/
Prof. Dr. Khalid Zeed Abdullah Basalamah—lebih populer dengan panggilan khidmat Ustaz Khalid Basalamah—menyatakan jika di antara kerabat atau sahabat ada yang berlaku jahat, diperbolehkan menjaga jarak atau membatasi hubungan dengannya. “Namun kita tidak boleh memutus tali silaturahmi. Tidak boleh menilai buruk secara keseluruhan pribadi orang tersebut karena pasti ada kebaikan lain pada dirinya,” urai alumnus Universitas Islam Madinah jurusan Dakwah dan Ushuluddin pada salah satu kajiannya di YouTube.
Jika terhadap orang yang sudah jelas-jelas terbukti berlaku jahat saja tidak diperbolehkan memutus tali silaturahmi, apalagi terhadap orang yang baru diduga berlaku jahat, bukan? Apakah perilaku tertentu seseorang sudah bisa dipastikan niat jahatnya secara mutlak? Atau hanya baru dugaan yang diambil karena tekanan rasa curiga?
Nabi ﷺ pernah menegur seorang Sahabat hebat, panglima perang muda belia yang sudah seperti cucunya sendiri, Usamah bin Zaid bin Usamah r.a. “Apakah kau sudah belah dadanya?” tanya Nabi dengan tajam kepada Usamah yang sebelumnya mengambil tindakan tegas terhadap seorang musuh di dalam satu perang.
Bayangkan! Di dalam sebuah perang ketika segala bentuk strategi dan taktik untuk meraih kemenangan diperbolehkan, Nabi yang mulia tak mengizinkan umatnya mengandalkan persepsi dan logika yang muncul dari dugaan dan syakwasangka, sebagai dasar penilaian dan penghakiman terhadap seseorang yang dicurigai, hatta terhadap musuh sekali pun.
Dengan begitu, frasa ‘apakah sudah kau belah dadanya’ sejatinya adalah sebuah standar kehati-hatian amat sangat tinggi yang dipatok Nabi ﷺ agar kaum muslimin jangan mudah menghakimi seseorang, bahkan jika bukti-bukti zahir terlihat seolah mendukung, seperti kasus yang dialami Usamah bin Zaid bin Haritsah.
Situs Rumah Zakat (rumahzakat.org) dalam sebuah artikel yang ditulis admin situs, berjudul Ancaman Bagi Orang yang Memutus Silaturahmi (5/2/2023), memperluas lingkup silaturahmi bukan hanya pada konteks persaudaraan dan persahabatan, melainkan juga dalam relasi dengan sesama muslim.
Pada alinea ketiga tulisan itu tertera, “Sayangnya, masih saja ada muslim yang memutus tali silaturahmi. Pemutusan tersebut bisa karena berbagai faktor. Misalnya, karena berlatar belakang konflik permusuhan, hubungan utang-piutang, hingga permasalahan pribadi lainnya. Padahal, Allah Swt melarang memutus hubungan silaturahmi. Ancaman yang akan diberikan Allah Swt bukan hal yang ringan. Belum juga ancaman di dunia yang juga bisa membuat hidup tidak berkah dan bahagia.”
Ada lima jenis risiko yang akan dialami para pemutus silaturahmi yang diungkapkan tulisan itu.
Selain mereka tidak akan masuk surga, salah satu risiko besar lainnya adalah hidup mereka tidak akan mendapatkan rahmat Allah, seperti disampaikan Nabi ﷺ dalam sabdanya: “Sesungguhnya rahmat Allah tidak turun kepada suatu kaum yang di antara mereka terdapat orang yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR Imam Bukhari).
Ini menunjukkan betapa pentingnya tali silaturahmi harus dirawat dan dijaga, tak boleh diputus dengan alasan apapun, seperti firman Allah di dalam al-Qur’an:
وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ، إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS 4: 1)
5/
Dinamika persaudaraan, persahabatan, pertemanan, dan hubungan sesama muslim, lazimnya interaksi sosial secara global, tak selalu berjalan sempurna. Ada saja yang kurang, khilaf, teledor–termasuk lalai sebagai satu tanda kelemahan manusia (QS 102: 1).
Di sini kematangan iman dan kedewasaan mental seorang muslim diuji satu sama lain, bukan dengan mengobarkan permusuhan atau menghentikan pertemanan. Pendeknya: memutus silaturahmi dengan alasan untuk “memberikan pelajaran”.
Cara Qur’ani untuk menjalani kondisi tak ideal tersebut jauh lebih indah dan mengedepankan akhlak mulia: saling menasehati dalam kebenaran dan menasehati dalam kesabaran (QS 103: 3). Kebenaran dan kesabaran menjadi satu kesatuan jalin berkelindan dalam ayat itu, tak bisa dipisahkan. Yang satu membutuhkan yang lain seperti dua sisi dari sebuah koin.
Tak ada bangunan kebenaran yang bisa ditegakkan tanpa pilar-pilar kesabaran.
Maka kalender KALAM UI hari ini adalah sebuah pengingat yang bermanfaat: sebagai alat evaluasi pribadi untuk meneroka apakah diri kita masih termasuk ke dalam golongan orang-orang yang memutuskan tali silaturahmi yang dilarang agama?
Sebab, inti silaturahmi bukan hanya tecermin pada kerelaan merespon kelebihan orang lain, melainkan juga keikhlasan dalam menerima kekurangan sesama–mengingat tak ada seorang pun manusia yang sempurna.
Wallahu a’lam bi shawab.
Cibubur, 27 Maret 2024
Akmal Nasery Basral, Penulis adalah penerima Anugerah Sastra Andalas 2022