Terkait adanya anggapan bahwa kemenangan Anies ini lebih disebabkan sikap oposisi warga Aceh kepada pemerintah pusat, dia tidak membantah. Meski menurutnya istilah itu kurang tepat.#kbanews
JAKARTA | KBA – Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menang telak di Provinsi Aceh merujuk hasil hitung cepat semua lembaga survei dan real count sementara KPU, yang mencapai 75 persen. Pasangan capres-cawapres nomor urut 1 itu unggul mutlak karena masyarakat Aceh bersikap rasional dalam memilih pemimpin.
“Orang Aceh sangat rasional memilih pemimpin, yang berpengetahuan, punya rekam jejak yang baik, berintegritas, dan sangat tekun berurusan dengan sila pertama (Pancasila), Ketuhanan Yang Maha Esa. Kan Anies itu anak bangsa yang berpendidikan Barat, tapi religius,” jelas pemerhati politik yang juga sosiolog Prof. Ahmad Humam Hamid kepada KBA News Jumat, 1 Maret 2024.
Meski demikian, dia memastikan, masyarakat Aceh akan legowo menerima kenyataan kalau secara nasional Anies ditetapkan kalah. “Orang Aceh kan akan realistis. Kalau nanti KPU mengumumkan itu (Anies kalah), ya sudah (diterima),” ungkapnya.
Saat ditanya lebih jauh terkait adanya anggapan bahwa kemenangan Anies yang merupakan capres Koalisi Perubahan, lebih disebabkan sikap oposisi warga Aceh kepada pemerintah pusat, dia tidak membantah. Meski menurutnya istilah oposisi kurang tepat.
“Saya tidak mengatakan oposisi, tapi kritis,” sambung Guru Besar Universitas Syiah Kuala ini.
Dia menjelaskan pada masa Orde Lama, partai yang didirikan Presiden RI pertama, Soekarno, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), memang tidak pernah menang di provinsi paling barat Indonesia tersebut. Saat itu yang menang adalah Masyumi.
Demikian pula pemilu di masa Orde Baru. Hampir 25 tahun Pemerintahan Soeharto, Golkar yang menjadi partai pemerintah tidak pernah menang. Golkar baru menang di Aceh sejak Pemilu 1989 sampai Presiden RI ke-2 itu lengser tahun 1998.
Golkar bisa menang karena ada tokoh saat itu, yaitu mantan Rektor Syiah Kuala yang juga Ketua Bappeda Aceh, menjelaskan kepada masyarakat tentang bagaimana sesungguhnya keberadaan partai-partai ketika itu .
Disebutkan dua partai lain yang berkontestasi, PPP dan PDI, juga bermuara kepada Soeharto, artinya tetap mendukung pemerintahan Orde Baru tersebut. “Dia memberikan logic, ngapain kita lewat PPP, langsung saja kepada Golkar. Karena semua itu milik Pak Harto,” jelasnya sambil tertawa kecil.
“Golkar menang dan setelah itu dia (Aceh) mendapat perhatian luar biasa dari Pak Harto. (Provinsi Aceh mendapat) anggaran terbesar dari APBN untuk di luar Jawa,” sambungnya.
Hal yang sama juga terjadi setelah Reformasi. Pilpres langsung pertama tahun 2004, tokoh Reformasi Amien Rais yang menang. Namun, untuk Pilpres 2009, calon presiden petahana Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadi pilihan masyarakat.
“Kalau (Aceh disebut) oposisi (terhadap pemerintah pusat), kenapa menang SBY? SBY bisa menang karena tahun 2006 (SBY) sudah memberikan perdamaian kepada Aceh,” katanya menekankan.
Sementara pada Pilpres 2014 dan 2019 Prabowo Subianto, yang unggul di Aceh. Prabowo saat itu, terutama Pilpres 2019, merupakan capres yang menjadi penantang kandidat incumbent. (kba)