Tercatat terdapat 131 satuan pengurus tempat ibadah, lembaga, dan organisasi keagamaan yang menerima hibah dari Pemprov DKI Jakarta.
Anies menggelontorkan dana hibah senilai Rp352 miliar untuk tempat ibadah dan organisasi keagamaan pada 2022. Tercatat terdapat 131 penerima hibah.
JAKARTA | KBA — Sosiolog Prof. Dr. Bustami Rahman, M.Sc menilai apa yang terimplementasi dalam kebijakan publik Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencerminkan sikap kenegarawanan yang otentik.
Hal itu diungkapkan Bustami Rahman terkait kebijakan Anies menggelontorkan dana hibah senilai Rp352 miliar untuk pengelola tempat ibadah dan organisasi keagamaan pada 2022.
Tercatat terdapat 131 satuan pengurus tempat ibadah, lembaga, dan organisasi keagamaan yang menerima hibah dari Pemprov DKI Jakarta.
Penerima hibah dari Anies itu diatur dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 275 Tahun 2022. Besarannya bervariasi mulai dari Rp20,8 juta hingga paling tinggi Rp5 miliar.
Menurut Bustami Rahman yang juga Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Bangka Belitung (UBB) dan telah 15 tahun mengabdi hingga purnatugas sekira April 2021, dana hibah dari Anies diperuntukkan tempat ibadah dan ormas berbasis keagamaan itu dari segi besaran jumlah memang relatif.
“Yang absolut dan sangat prinsipil bagi kepemimpinan masa kini adalah sikap kenegarawanan dari seorang Anies,” tegas Bustami Rahman yang dihubungi KBA News di Jakarta, Rabu, 6 April 2022.
Dalam situasi bangsa terbelah (split nation) seperti sekarang ini, demikian lanjut Bustami Rahman, sikap kenegarawanan pemimpin di Indonesia menjadi tantangan tersendiri.
Pelopor berdirinya UBB itu menjelaskan, sikap kenegarawanan mungkin bisa dipilah menjadi dua bagian yang tidak mudah dinotifikasi.
“Pertama adalah kenegarawanan pura-pura dan yang kedua adalah kenegarawanan otentik,” imbuh mantan Rektor UBB yang pertama dari periode 2006-2016 ini.
Dikatakan Bustami Rahman, seorang pemimpin bisa saja berpura-pura menjadi seorang negarawan, tetapi tidak lama menutup topengnya itu segera dikenal oleh masyarakat sebagai pemimpin pura-pura atau pembohong.
Sedangkan pemimpin otentik lahir dari ‘sononya’. Melalui lingkungan keluarga yang biasa berbuat adil, jujur, dan istiqamah.
“Semoga apa yang terimplementasi dalam kebijakan publik dari seorang Gubernur DKI mencerminkan sikap kenegarawanan yang otentik,” demikian Bustami Rahman. (kba)