Saat menjabat menteri, Anies Baswedan sempat diduga bakal menjadi sosok yang birokratis serta penuh protokoler ketat dan kaku. Seiring berjalannya waktu, ternyata sama sekali tidak didapati kesan itu.
Anies Baswedan, mantan Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah (2014-2016), kini menjabat Gubernur DKI Jakarta. Namanya pun selalu ramai diperbincangkan oleh berbagai survei bakal calon presiden 2024 . Anies selalu ada di posisi tiga besar survei tokoh yang dianggap punya kans kuat menjadi calon Presiden 2024.
Anies memang banyak disebut sosok potensial untuk maju dalam pemilihan presiden nanti, bersama nama-nama lain seperti Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang kini menjabat Menteri Pertahanan RI dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Tulisan ini tidak hendak mengulas soal peluang atau kans Anies maju dalam bursa capres nanti, tetapi memotret sisi lain dari Anies Baswedan. Sisi lain sebagai manusia biasa yang dicatat dari kesaksian orang yang pernah berinteraksi langsung dengan mantan Rektor Universitas Paramadina tersebut.
Salah satunya cerita seorang wartawan yang kerap meliput di Kementerian Pendidikan, kementerian yang pernah dipimpin Anies. Penulis menghormati keberatan sang wartawan agar namanya tidak dipublikasikan. Namun, ia memang wartawan yang meliput di kementerian tersebut sejak Anies menjadi orang nomor satu di sana.
Menurut penuturannya, Anies merupakan sosok menteri yang gampang atau cepat akrab. Awalnya, ia menyangka Anies akan jadi menteri yang birokratis. Penuh protokoler yang ketat dan kaku. Namun, sama sekali tidak didapati kesan-kesan seperti itu.
Dengan wartawan, Anies tidak menjaga jarak. Berbicara dengan Anies seperti berbincang dengan kawan diskusi. Anies memandang wartawan itu kawan diskusi. Ia juga pendengar yang baik. Juga pembicara yang enak untuk didengar. Bicaranya runut. Gampang dicerna.
“Saya biasa panggil dia Mas Anies, bukan Pak. Ya, mungkin karena merasa akrab saja,” kata sang wartawan.
Anies memang tak biasa, mungkin juga tidak bisa, berbicara meledak-ledak. Ia bukan tipikal orang yang suka bicara keras menggelegar. Omongannya tenang, juga runut. Mungkin karena ia seorang pendidik. Pernah jadi dosen bahkan Rektor di Universitas Paramadina, sebuah universitas swasta yang salah satu pendirinya adalah mendiang cendekiawan Muslim, Nurcholish Madjid (Cak Nur).
Namun, jangan tanya soal pengetahuan politik, ekonomi, maupun isu-isu kenegaraan. Ia pembicara yang baik, memiliki pemahaman dan penguasaan atas isu-isu mutakhir. ”Mungkin itu karena Mas Anies terbiasa membaca, juga mendengar,” tutur sang wartawan.
Meski demikian, bukan berarti Anies tidak bisa tegas. Ketegasannya selalu diperlihatkan dengan tenang, tanpa meledak-ledak. Tetap dengan bahasa yang runut. Bukan dengan kalimat menghentak-hentak, bahkan menggebrak.
“Satu hal yang membuat saya merasa dekat saja dengan dia, dia itu mau mendengar. Kawan ngobrol yang enak. Cepat akrab walau ini kan ‘beda kelas’. Dia menteri, saya wartawan,” kata sang wartawan, disambung tawa kecil.
Sepengetahuannya, Anies juga sosok family man. Sesibuk apa pun, Anies berusaha tetap memberikan waktu untuk mencurahkan perhatian dan kasih kepada istri dan anak-anaknya.
Ditanya apakah akan memilih Anies jika maju sebagai calon presiden, sang wartawan hanya tersenyum.” ”Lihat nanti sajalah. Yang pasti, menurut saya, dia orang baik.”
Orang baik pasti akan selalu dikenang, diingat, di mana pun berada. Semoga yang dikatakan sang wartawan itu benar. Negeri ini membutuhkan orang baik. Orang yang mau mendengar. Lebih baik lagi, orang pintar yang mau mendengar. (kba)