Walaupun Taman Nasional ini sudah diresmikan 30 tahun lebih, tidak ada perubahan untuk jalan ini.#aminkanindonesia
JAKARTA | KBA – Pemerintah Pusat lebih mengutamakan aspek komersialisasi dari Taman Nasional Ujung Kulon ketimbang menata infrastruktur desa-desa penyangga seperti Cibadak.
Jalan menuju desa-desa ini rusak parah karena hanya dilapisi kerikil walaupun Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sejak 1 Februari 1992 menetapkannya sebagai Situs Warisan Dunia Alami (World Heritage Site).
“Jalanan pada hancur, hanya dilapisi kerikil tajam-tajam,” kata Ketua Umum Relawan Indonesia Anies (RI Anies) Nasokha Abdillah, kepada KBA News di Cibadak, baru-baru ini.
Untuk menuju Cibadak, Kecamatan Cimanggu, misalnya, dari jalan utama di Pandeglang, ibukota kabupaten bernama sama. Perjalanan bemobil harus ditempuh bisa lima-enam jam melewati jalan tersebut.
Sejumlah warga yang ditemui terpisah di sepanjang jalan ke Cibadak menilai pemerintah pusat selama ini hanya mengutamakan aspek komersial dari keberadaan Taman Nasional Ujung Kulon yang luasnya 122.956 hektare.
“Walaupun Taman Nasional ini sudah diresmikan 30 tahun lebih, tidak ada perubahan untuk jalan ini. Dampaknya, membawa buruk bagi perekonomian warga di desa-desa penyangga ini,” kata seorang warga bersepeda motor.
Pengakuan warga tersebut juga diakui Nasokha, yakni hasil bumi dari desa-desa tersebut seperti di bidang perikanan maupun perkebunan, harus dipasarkan ke Pandeglang dan kota-kota sekitarnya.
“Bagaimana bisa lancar dipasarkan, jika untuk dijual ke pasar saja harus menempuh perjalanan darat yang sangat menyiksa seperti ini?,” kata Nasokha.
Senada itu, sesepuh Cibadak, Haji Abah Ishak, sangat berharap agar calon presiden Anies Baswedan dan calon wakil presiden Muhaimin Iskandar atau AMIN, dapat membawa perubahan jika mereka terpilih memimpin Negara Kesatuan Repubik Indonesia (NKRI).
“Kalau infrastruktur desa ini diperbaiki dan layak, tentu saja tingkat kehidupan warga desa akan berubah, karena ekonomi mereka membaik dengan lancarnya penjualan hasil bumi lewat jalan darat ini,” kata Nasokha.
Hancurnya jalan ke Cibadak, menurut putera Demak ini, ibarat pepatah ‘kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak’.
“Artinya, pemerintah pusat selama ini hanya rajin membangun jalan-jalan tol. Padahal di depan mata, yang ironisnya terletak tak jauh dari Jakarta, rakyat menjerit karena jalan-jalan desa mereka seperti ini, berantakan,” tegasnya.
Dalam catatan KBA News, berbagai kegiatan skala nasionla yang kerap digelar pemerintah pusat di desa-desa penyangga ini, dinilai tidak langsung menyentuh untuk upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Pada 2018, misalnya, digelar sosialisasi hasil pembelajaran Sekolah Lapangan Pertanian Ekologis (SLPE) dan memamerkan produk pemberdayaan masyarakat di lima desa tersebut kepada masyarakat luas.
Produk-produk yang dipamerkan antara lain tas dan tikar dari anyaman daun pandan, kerajinan patung badak, emping melinjo, beras merah dan beras putih yang memakai pupuk organik, bandrek, gula semut, kerajinan cobek dari kayu mahoni.
Menurut sejarah, Franz Wilhelm Junghuhn merupakan ahli botani asal Jerman yang pertama kali memasuki kawasan Taman Nasional Nasional Ujung Kulon pada 1846.
Eksistensi Taman Nasional yang terkenal di kalangan para peneliti luar negeri ini terus meluas, terlebih lagi sejak terjadinya letusan Gunung Krakatau pada 1883. Meski dihadang amukan Gunung Krakatau yang diikuti tsunami hingga 15 meter, pemulihan ekosistem, vegetasi, serta kehidupan hewan liar di Taman Nasional Ujung Kulon dan sekitarnya berkembang cukup cepat.
Kekayaan flora dan fauna di Taman Nasional pun akhirnya berhasil membuat Komisi Warisan Dunia UNESCO resmi menetapkan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai Natural World Heritage Site pada pada 1 Februari 1992. (kba).