Sepanjang kepemimpinan Anies di Jakarta, begitu hujan deras turun, pemadam kebakaran dan operator pompa langsung keluar. Padahal pada masa lalu, mereka parkir di tempat masing-masing karena tidak masuk sistem untuk menarik (air), kecuali banjir ekstrem.
Ketika anggaran sumur resapan dipotong, yang menjadi korban adalah rakyat Jakarta. Padahal, sumur resapan terbukti efektif sebagai salah satu cara pengendalian banjir di kawasan tertentu.
JAKARTA | KBA – Beberapa hari ini banjir terjadi di sejumlah kawasan di Jakarta. Curah hujan yang tiba-tiba tinggi membuat sejumlah jalan dan permukiman tergenang. Bagaimana Pemprov DKI Jakarta menanganinya?
“Kapasitas (curah hujan) Jakarta itu 50 mm per hari. Jalan protokol 100 mm per hari. Bila hujan di atas itu pasti timbul genangan. Sekarang ini kita berhadapan dengan climate change di mana curah hujan sering kali volumenya tinggi dalam waktu pendek. Ini fenomena di seluruh dunia. Volume air di luar kendali kita, mau curah hujan 100 mm atau 200 mm,” kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam program Karni Ilyas Club dikutip KBA News, Kamis 6 Oktober 2022.
Menurut Anies, konsep yang dia terapkan adalah lihat masalahnya, cari solusinya. Misalnya, membangun drainase khususnya di tempat-tempat cekung karena air harus ditarik dengan pompa.
“Kejadian semalam, ketika ramalan cuaca mengumumkan akan terjadi hujan lebat, pasukan kita langsung berada di tempat-tempat cekung,” ujar dia.
Sejak 2019, lanjut Anies, dirapatkan bahwa begitu ada genangan, 6 jam harus surut. Ketika ada limpahan dari hulu, air membeludak.
“Kita ada 13 sungai. Kapasitas sungai 2.300 kubik per detik. Ketika air yang masuk di atas angka itu otomatasi meluber. Pernah kejadian 3.300 kubik per detik di Ciliwung. Pernah 900 kubik per detik. Dalam kondisi normal, 600 kubik per detik. Ketika di atas 900 kubik per detik, akan luber. Begitu luber, misal sampai 1.000 kubik per detik, begitu turun 900, luberan harus kering dalam 6 jam,” jelas dia.
Sepanjang kepemimpinannya, jika terjadi banjir, pemadam kebakaran dan operator pompa keluar. Padahal pada masa lalu, mereka parkir di tempat masing-masing karena tidak masuk sistem untuk menarik, kecuali banjir ekstrem.
“Sekarang tidak ekstrem pun kita kerahkan. Tujuan kita adalah ketika terjadi bencana di luar kapasitas, kita tarik airnya. Sekarang yang dalam kapasitas, sumur resapan berfungsi efektif. Daerah cekungan, penurunan air jauh lebih cepat dibanding sebelumnya. Kita siapkan sumur-sumur resapan. Program ini harus terus kita kerjakan,” kata Anies.
Sayangnya, sejak 2021 program sumur resapan ditutup karena unsur politik. Padahal, teknik ini scientific. Ketika anggaran (APBD) sumur resapan dipotong, korbannya rakyat Jakarta.
“Kemarin kami sudah bangun 28 ribu sumur resapan. Itu tidak cukup. Harus diperbanyak. Harus diteruskan. Ini bukan inisiatif Anies, tetapi expert. Prinsipnya zero run-off yaitu di sebuah kawasan air yang masuk kawasan tidak dikeluarkan. Tetapi kalau semua rumah membiarkan air keluar maka di luar terjadi banjir. Agar tidak keluar bikinlah sumur resapan,” ujar dia.
Sama halnya dengan kawasan. Jika diterapkan zero run-off, ketika hujan di kawasan itu, air ditahan di sana agar tidak mengalir ke tempat lain. Sebab, begitu air ke tempat lain yang tempatnya rendah, pasti terjadi banjir.
“Jadi sumur resapan itu harus dibangun di banyak tempat supaya ketika terjadi hujan lokal yang melampaui kapasitas akan bisa dialirkan secara vertikal, tidak dialirkan secara horizontal ke tempat lain yang lebih rendah,” katanya.
Menurut Anies, teknik ini tidak boleh menjadi tema politik. Ini harus menjadi sebuah solusi teknokratik. Dia berharap pemerintahan berikutnya meneruskan solusi ini. Jadi hal-hal yang sifatnya program teknokratik seharusnya dijaga dan diteruskan.
“Apakah ini semua cocok untuk semua wilayah Jakarta, tidak. Di tempat yang permukaan airnya tinggi tidak bisa. Jadi baru digali dua meter ketemu air, enggak bisa dipakai. Tapi di tempat yang permukaan airnya dalam, itu bisa dipakai. Kita sudah ada ahlinya di tempat yang ini bisa, di tempat ini tidak bisa. Mayoritas tempat di Jakarta itu bisa,” tutur dia.
Anies menyebut, untuk lokasi yang tidak memungkinkan dibangun sumur resapan, disiapkan model menarik air dengan pompa. Sebab, pada masa lalu Jakarta adalah daerah rawa yang kini menjadi permukiman termasuk kawasan Rawamangun, Rawabebek, Rawabelong, Rawabuaya, dan sebagainya.
“Kalau kita tidak persiapkan sumur-sumur resapan, ya otomatis air akan mengendon di situ. Jadi yang ingin saya sampaikan, ini harus terus dan tidak bisa diselesaikan setahun dua tahun,” katanya.
Megingat di bagian hulu yang pada awalnya kawasan hijau tetapi kini berubah menjadi kawasan hunian, begitu hujan lebat, air masuk Jakarta. Apa yang dikerjakan Jakarta?
“Menambah waduk. Jadi air masuk ke waduk di luar Jakarta. Ketika masuk sudah ditakar volume airnya. Jakarta bisa mengerjakannya dengan taman. Sejumlah taman di Jakarta dibangun di tepi sungai dan sengaja dibuat rendah supaya ketika permukaan air sungai naik, airnya diparkir di situ. Bukan parkir di perkampungan tetapi di taman,” jelas dia.
Dalam kasus genangan air di Jalan Kemang Raya, Anies menegaskan, pada pukul 02.00-03.00 sudah surut semuanya, karena nonstop dipompa. Seluruh sumber daya kita tarik.
“Rumusnya sekarang begini, bila hujan di bawah 50 mm di perkampungan dan di bawah 100 mm per hari di jalan-jalan protokol tidak boleh banjir. Kalau banjir berarti ada yang salah. Misalnya salurannya kotor. Di bagian atas pasti terjadi genangan. Kalau terjadi genangan, kita punya waktu 6 jam untuk menghentikannya. Itu kira-kira pendekatan objektifnya,” katanya. (kba)