Karena itu dia berharap MK dapat menangani gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum atau PHPU, baik Pileg maupun Pilpres 2024, dengan baik.#aminkanindonesia
JAKARTA | KBA – Kecurangan yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam penyelenggaraan Pilpres 2024 sangat jelas dan nyata. Sehingga semua pihak bisa melihatnya secara langsung.
“Saya kira tidak perlu jadi orang perlu pintar untuk melihat itu (kecurangan) adalah TSM,” jelas pakar hukum tata negara Dr. Iwan Satriawan dalam podcast di kanal YouTube @Refly Harun Kamis, 22 Februari 2024, dikutip KBA News.
Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini membeberkan bukti-bukti terjadinya kecurangan secara TSM tersebut. Dia memulai dari tingkat regulasi.
Karena sebagaimana disebutkan sebuah adagium, orang yang berhasil memenangkan pertarungan di tingkat regulasi berarti hampir memenangkan setengah dari pertarungan politik.
“Dan saya melihat penataan desain kemenangan pemilu itu sudah didesain misalnya, tidak diubahnya Undang Undang Pemilu. Karena mereka tidak mau kemudian masalah presidential threshold diganti,” ucapnya.
Apalagi, gugatan presidential threshold atau ambang batas pengajuan capres-cawapres terus ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan sudah lebih dari 30 kali MK menolak gugatan beleid yang mengatur syarat partai politik atau gabungan partai politik bisa mengajukan pasangan calon harus memiliki sekurang-kurangnya 15 persen kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional.
Puncaknya adalah, katanya melanjutkan, ketika MK mengabulkan gugatan terkait batas minimal syarat umur capres-cawapres yang memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres pada Pilpres 2024.
“Saya kira itu puncak pelanggaran konstitusional yang serius. Ketika seorang paman bisa memutuskan sebuah pasal yang itu didedikasikan kepada ponakannya. Dan itu terang benderang. Dan MKMK pun mengatakan pelanggaran berat yang serius,” ungkapnya.
Parahnya lagi, KPU langsung menerima pendaftaran Gibran yang berpasangan dengan Prabowo Subianto tanpa merevisi Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sesuai putusan MK. Karena PKPU 19 itu masih mengatur syarat calon berusia minimal 40 tahun.
Selain persoalan regulasi, akademisi jebolan Universitas Gadjah Mada (S1) dan International Islamic University Malaysia (S2 dan S3) ini juga menyoroti persoalan daftar pemilih tetap atau DPT yang tak pernah diselesaikan.
“2019 masalah DPT itu sudah muncul dalam persidangan MK. Tapi tidak pernah diselesaikan 5 tahun kemudian. Nah, berarti sengaja itu dibiarkan,” paparnya.
Dia menjelaskan jumlah surat suara yang dicetak mestinya sesuai jumlah DPT. Namun kalau DPT tidak valid, ada surat yang berpotensi untuk dimanfaatkan untuk kemenangan pasangan tertentu.
Selanjutnya bagian dari bukti telah terjadinya TSM itu adalah ketidaknetralan atau keberpihakan Presiden Jokowi yang menguntungkan pasangan Prabowo-Gibran.
“Presiden Jokowi mengatakan dia akan cawe-cewe dan itu dibuktikan dengan desain kebijakan bansos, BLT, dan banyak hal yang kemudian orang saya kira-kira dengan mudah melihat. Kelihatan (itu) menguntungkan paslon 02,” paparnya.
Di tengah berbagai dugaan kecurangan itu, sayangnya, Bawaslu sebagai lembaga pengawas pelaksanaan pemilu juga tidak menjalankan peranya secara baik. Bawaslu membiarkan berbagai pelanggaran yang ada tanpa memberikan sanksi kepada pihak yang terlibat.
“(Seperti wasit, Bawaslu) tidak ada pernah mengeluarkan kartu kuning, apalagi kartu merah. Menurut saya pelanggaran-pelanggaran itu sebenarnya harus ada yang sudah dikasih kartu merah. Tapi itu tidak dilakukan,” kesalnya.
Karena dia mendukung para pihak yang merasa dirugikan untuk melaporkan berbagai kecurangan tersebut. Mulai dari mengajukan ke Bawaslu hingga ke MK. Meskipun dia pesimis dua lembaga tersebut akan menangani secara jujur dan fair, termasuk di tingkat di MK.
“Prosedur kita jalani. Tapi saya juga skeptis dengan komposisi hakim MK,” ucap penulis disertasi berjudul “Peranan Mahkamah Konstitusi RI dalam Memperkuat Demokrasi di Indonesia” ini.
Karena pada fase memasuki usia 10 tahun keduanya, dia melanjutkan, MK banyak mendapat sorotan terkait dengan keputusan dan perilaku para hakim MK sehingga disebut sebagai masa declining atau kemunduran lembaga berjuluk guardian of constitution yang didirikan pada 17 Agustus 2003 tersebut.
Hal ini berbeda dengan penampilan MK pada masa 10 tahun pertama, yang sangat baik. Karena itu dia berharap MK dapat menangani gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum atau PHPU, baik Pileg maupun Pilpres 2024, dengan baik.
Sehingga ini akan menjadi legasi yang akan menutup catatan buruk MK selama 10 tahun terakhir ini. “Saya kira itu akan mengubah catatan buruk MK menjadi catatan baik untuk MK ke depan,” tandasnya. (kba)