Kepindahan AR Baswedan ke Soeara Oemoem bersama Tjoa Tjie Liang memberikan gambaran nasionalisme apa yang dianut oleh bangsa Indonesia tanpa memperdulikan keturunan dan agama.
Surat Kabar Nasional Soeara Oemoem kembali mempertemukan Abdul Rahman Baswedan (AR Baswedan) -kakek Anies Rasyid Baswedan dari pihak ayah- dengan Tjoa Tjie Liang setelah sebelumnya sama-sama di Harian Sin Tit Po.
Kala itu Sin Tit Po sempat diancam apabila tidak mau mengubah haluannya tidak akan diberi lagi advertensi dan kontraknya tidak dilanjutkan. Sebagian besar advertensi itu berasal dari perusahaan Belanda berada di bawah The Big Five.
Suratmin dalam buku karyanya berjudul Abdul Rahman Baswedan, Karya dan Pengabdiannya yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1989), menyebutkan sikap pimpinan redaksi di Sin Tit Po mempunyai kecenderungan mendukung gerakan nasional.
“Karena itu berita-berita yang berhubungan dengan gerakan nasional mendapat tempat yang baik. Demikian juga sejumlah tokoh nasional tidak jarang mengirimkan tulisan ke Sin Tit Po,” tulis Suratmin.
Makin lama keadaan semakin panas karena isi Sin Tit Po membakar semangat perjuangan dan mengoreksi ketimpangna yang ada. Maka direkturnya diancam oleh ikatan importir-importir perusahaan Belanda karena suara Sin Tit Po yang pro pergerakan nasional.
Pembicaraan itu terjadi pada akhir 1933. Maka Liem Koen Hian sebagai pimpinan mengadakan pembicaraan dengan kawan-kawan termasuk didalamnya AR Baswedan, dan diambil suatu sikap tegas menolak permintaan The Big Five itu sehingga akhirnya semuanya meninggalkan Sin Tit Po.
Nah, pada bagian ketujuh tulisan ini, KBA News masih mengulas secara khusus mengetengahkan tentang keterpanggilan AR Baswedan menekuni profesi sebagai seorang jurnalis dan terjun dalam pergerakan nasional.
Saat di Sin Tit Po, AR Baswedan bertemu dengan JD. Syaranamual dari gerakan Maluku. Syaranamual seberhentinya dari Sin Tit Po menjadi pemimpin redaksi Soeara Oemoem bersama AR Baswedan dan Tjoa Tjie Liang yang tadinya sama-sama di Sin Tit Po.
Dokter Soetomo yang menjadi Direktur Soeara Oemoem dengan hati terbuka menerima kehadiran AR Baswedan dengan Tjoa Tjie Liang. Tjoa Tjie Liang waktu itu juga menjabat sekretaris Partai Tionghoa Indonesia yang baru lahir.
Diterimanya AR Baswedan dengan Tjoa Tjie Liang dalam redaksi Surat Kabar Nasional itu menimbulkan polemik dengan harian Bintang Timur di Jakarta yang mengecam dr. Soetomo mau menerima keduanya. Inilah bukti bahwa dr. Soetomo sejak waktu itu berhaluan nasional yang tidak sempit dan tidak chauvinistis.
Setahun lamanya AR Baswedan menjadi redaksi Soeara Oemoem. Kepindahannya ke harian tadi bersama Tjoa Tjie Liang oleh pihak PBI (Persatuan Bangsa Indonesia) yang menerbitkan surat kabar tersebut dimaksudkan untuk memberikan gambaran nasionalisme apa yang dianut oleh bangsa Indonesia tanpa memperdulikan keturunan dan agama.
Waktu AR Baswedan bekerja di Soeara Oemoem itu tibalah seorang penyair dari Libanon. Seorang sastrawan terkenal di Beirut, begitu bertemu dengan Baswedan segera ia mengagumi Baswedan yang berbahasa Arab dengan fasihnya.
Perkenalan dengan AR Baswedan jadi erat sekali terutama karena orang itu pejuang dan pernah ditangkap pemerintah Perancis. Nama orang itu Abdul Rakhim Quleilaat.
Ketika orang itu mau pulang AR Baswedan bermaksud ikut ke Libanon, selanjutnya akan studi di Eropa dan sebagai koresponden tetap di luar negeri.
Niatnya itu mendapat persetujuan dokter Soetomo dan honornya untuk penghidupan keluarganya di Kudus yang ditinggalkan.
Setelah mendapat paspor dan menanti kapal Jepang dari Semarang, AR Baswedan dijanjikan oleh Prof. Quleilaat untuk perjalanannya, akan dipikul biayanya kecuali tiket perjalanan itu harus ditanggung sendiri.
Sambil menunggu selama satu bulan mendadak AR Baswedan jatuh sakit dan akhirnya tidak jadi berangkat. Ketidakberangkatannya itu menyebabkan shok sehingga sakit dan kian hari bertambah berat.
Ketidakjadian AR Baswedan itu sebelumnya telah diramalkan oleh istri Prof. Quleilaat bahwa pada suatu kesempatan lain kelak ia akan tiba di Libanon sebagai orang penting, yang ternyata terjadi kemudian pada 1952 bersama M. Natsir ke Libanon.
Putusan AR Baswedan mau ikut Prof. Quleilaat tersebut adalah suatu bukti kemauannya yang keras untuk terus belajar. AR Baswedan mengaso di Malang dan di sana aktif dalam Jong Islamieten Bond serta memberikan caramah-ceramah. Kemudian pulang ke Kudus karena sudah tidak bekerja lagi di Soeara Oemoem.
Setelah kesehatannya pulih kembali AR Baswedan ke Semarang (pada tahun 1934). Ia terjun lagi dalam jurnalistik dengan menjabat sebagai staf redaksi harian Matahari, sebuah koran Tionghoa Melayu di bawah pimpinan Kwee Hing Tjiat yang mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia.
Salah seorang pembantunya ialah Sudaryo Cokrosisworo wartawan kenamaan pada zamannya. Gaji AR Baswedan sebagai wartawan Matahari ini 25 gulden (lebih banyak dari gajinya sewaktu di Sin Tit Po dan Soeara Oemoem). Tjoa Tjie Liang juga menjadi kolega AR Baswedan di Matahari.
Tidak lama dia bekerja di harian itu, karena setelah PAI, organisasi ini minta banyak waktu dan tenaga. Sebagai Ketua PB PAI ia kemudian harus pindah ke Jakarta karena kedudukan PB-nya dipindahkan ke sana.
AR Baswedan seorang yang konsekuen menghadapi segala tantangan untuk merealisasikan idenya. Ia harus keluar memilih satu dari dua.
Ia akhirnya keluar dari Matahari yang bergaji besar itu, dan hidup sebagai pembantu dengan hasil yang tidak tetap kurang lebih 15 gulden sebulan dengan menerbitkan majalah Sadar. Padahal ia beristri dan beranak banyak.
Dapat dibayangkan betapa berat penderitaan keluarganya setelah mereka pindah dari Kudus, menuju kehidupan di kota besar Jakarta yang biaya hidupnya tinggi.
Walau bagaimanapun juga beratnya ia sebagai idealis harus konsekuen, karena tak ada orang lain yang sanggup memimpin PAI (Persatuan Arab Indonesia yang selanjutnya disebut Partai Arab Indonesia).
Maka hidupnya sekeluarga dengan penghasilan kecil dari penerbitan majalah Sadar yang nyata tidak dapat mencukupi kebutuhannya. Sampai-sampai ia kadang-kadang tak dapat membayar rekening air ledeng dan listrik di rumahnya.
Dua hal yang berat harus dihadapi oleh AR Baswedan. Satu pihak ia harus meneruskan pimpinan partainya di sisi lain ia harus memenuhi kecukupan hidup keluarganya. Maka karena beratnya kehidupan di Jakarta, akhirnya ia terpaksa pindah ke Bogor.
Isi Sadar memuat artikel-artikel yang menanam benih-benih kebangsaan agar betul-betul menjadi sadar dan bersedia berbakti untuk Ibu Pertiwi Indonesia. Bulanan Sadar terbitnya mengikuti AR Baswedan di mana berada.
Sewaktu PAI kembali pindah ke Semarang dan dari sana ke Solo, majalah Sadar juga ikut hijrah ke Semarang dan Solo sampai Jepang datang.
Seperti halnya majalah-majalah lainnya, di zaman Jepang juga Sadar terpaksa berhenti, tetapi semangat yang disebarnya, jiwa kesadaran yang ditanamnya sudah tumbuh, mengembang dan merata. Majalah Sadar itu tidak hanya membicarakan soal-soal masyarakat Arab, tapi juga membahas masalah-masalah umum dan nasional.
Di dalam mengembangkan paham PAI itu AR Baswedan terpaksa meninggalkan anak istri dan keluarganya berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan untuk mendirikan cabang baru.
Tjoa Tjie Liang dalam suratnya kepada AR Baswedan tentang penderitaan dan pahit getirnya hidup AR Baswedan antara lain mengatakan bahwa AR Baswedan pernah menumpang tinggal serumah dengan Tjoa Tjie Liang di Semarang, setelah ia meletakkan jabatannya pada surat kabar itu.
Pada waktu itu, rumah yang dipergunakan sebagai tempat tinggal adalah rumah sewa, karena memaklumi mereka sama-sama kuli tinta yang tergolong tidak berupaya, maka sebentar sewa di sini, dan sebentar sewa di sana, berpindah-pindah.
Dalam rumah itu hanya tersedia sebuah kamar dan sebuah ruangan tengah di mana ada “kursi malas” saja bagi AR Baswedan, dan makan pun bersama-sama yang serba sederhana dan seadanya.
Tjoa Tjie Liang dan nyonya seorang vegetarian, yakni tidak makan barang-barang berjiwa. Tjoa Tjie Liang sabahat karib dan seperjuangan itu terkesan benar-benar terhadap perjuangan AR Baswedan.
PAI bukan saja ikut dalam gerakan Indonesia Berparlemen yang diusahakan partai-partai politik Indonesia waktu itu, tetapi juga ikut dalam Kongres Rakyat Indonesia, gabungan dari berbagai macam organisasi politik baik yang mendasarkan geraknya atas nasionalisme saja, maupun yang mendasarkan agama.
Juga sewaktu diadakan Kongres Bahasa Indonesia di Sala (1935), AR Baswedan sebagai tokoh PAI ikut hadir, ikut mendukung keputusan-keputusannya serta menyebarluaskan putusan-putusannya dengan ceramah-ceramah.
Juga di kemudian hari dia banyak jasanya dalam pembinaan Kantor Berita Antara yang didirikan oleh empat sekawan Sumanang, Adam Malik, Pandu Wiguna dan AM Sipahutar. (kba)