“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”[1].
Pembukaan UUD 1945 mencatut cita-cita Republik Indonesia didalamnya. Terdapat empat cita-cita Republik Indonesia, ialah; melindungi segenap bangsa Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Tujuan yang mulia dari para pahlawan Indonesia kepada generasi penerusnya namun, hingga kini cita-cita tersebut belum terlaksana dengan maksimal. Di usia Indonesia yang menginjak tujuh puluh delapan (78) tahun pada 17 Agustus 2023 mendatang, cita-cita pendiri bangsa tersebut masih jauh dalam kata sukses.
Kegagalan dalam mewujudkan tujuan Indonesia dapat dilihat dari tingkat kejahatan yang kian meningkat, kesejahteraan yang belum merata, kurangnya mutu serta kualitas pendidikan bahkan cenderung mahal, dan keadilan sosial yang masih tumpang tindih. Jika diteliti, mewujudkan tujuan Republik Indonesia dapat diraih dengan memaksimalkan ruang pendidikan.
Pendidikan menjadi kunci dari keberhasilan suatu bangsa. Bangsa yang maju dapat diukur dari kualitas sumber daya manusianya dan ditopang oleh pendidikan yang bagus. Bercermin dari fenomena ini, dirasa bahwa pemerintah masih kurang all in untuk membenahi sistem pendidikan di Indonesia.
Dimulai dari kurikulum yang belum 16 tahun sudah berganti. Pergantian kurikulum dari kurikulum 2013 menjadi kurikulum merdeka dalam jangka waktu belum 16 tahun. Ini menandakan bahwa pembuat kurikulum sebelumnya dan mungkin juga pada pembuat kurikulum saat ini tidak mengerti dengan kurikulum itu sendiri.
Melihat dari segi wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan oleh pemerintah ditambah 4 tahun di strata 1, sehingga 16 tahun adalah patokan dari keberhasilan suatu kurikulum. Kurikulum merdeka yang menjadi jalan alternatif dari kurikulum 2013 ternyata juga masih minim penanaman nilai didalamnya.
Melihat dari aspek masyarakat Indonesia yang notabenenya adalah masyarakat sosial. Kurikulum merdeka dirasa belum menjadi solusi konkret dari permasalahan pendidikan di Indonesia. Warga Indonesia bukanlah warga yang dididik sedari kecil dengan metode pendidikan dalam filsafat rasionalisme namun, kini, pendidikan sains lebih ditonjolkan daripada pendidikan nilai-nilai, kebudayaan dan sosial. Ini menandakan bahwa kemajuan suatu negara harus dengan mengadopsi gaya kemajuan dari luar tanpa memanfaatkan potensi yang ada.
Lain daripada itu, fasilitas belajar-mengajar di Indonesia masih banyak yang kurang layak pakai. Dapat kita saksikan pada angka kerusakan ruang kelas tahun ajaran 2021-2022 di Badan Pusat Statistik (BPS) di bulan November, 2022. Tercatat sebanyak 39,39% ruang kelas rusak dan 60,60% ruang kelas rusak ringan pada tingkat SD, angka ini lebih tinggi 3,47% dari tahun sebelumnya; 26,70% ruang kelas rusak dan 53,30% ruang kelas rusak ringan ditingkat SMP, angka ini lebih tinggi 2,74% dari tahun sebelumnya; serta 54,97% ruang kelas rusak dan 45,03% ruang kelas suka dijajaran SMA, dan angka ini juga lebih tinggi 2,16% dari tahun sebelumnya.
Tidak sampai disitu, secara objektif, terdapat 5 permasalahan lain dalam dunia pendidikan Indonesia. Berawal dari guru yang berorientasi ekonomi bukan mengajar atau mendidik, perilaku amoral yang marak terjadi dalam dunia pendidikan, mental warga Indonesia yang gemar mengagungkan bangsa asing, biaya pendidikan yang mahal terkhusus di kampus-kampus dengan sistem Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) dan upaya pemerintah untuk menyeragamkan pola pikir anak bangsa, serta wajib belajar 12 tahun yang sudah tidak optimal untuk menyambut bonus demografi 5.0.
Klimaks dari permasalahan tersebut ialah sistem pendidikan Indonesia tidak untuk menciptakan manusia Indonesia yang baik namun, ingin menciptakan manusia Indonesia yang buruh. Beginilah kondisi negeriku.
Pantas jika Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) hadir mengusung Anies Rasyid Baswedan sebagai calon presiden Indonesia periode mendatang. Melihat rekam jejak mantan menteri pendidikan ini, seharusnya mampu mewujudkan cita-cita republik Indonesia dengan dimulai dari memperbaiki sistem pendidikan Indoneisa. Ini ditunjang dengan jabatannya sebagai anggota dewan di Oxford University.
Dengan pengaruhnya dikancah internasional, Anies mampu merubah konsep pendidikan Indonesia dan mengembangkan ilmu pengetahuan sampai ke pelosok negeri. Jika melihat rekam jejak dan sosok dari Anies Baswedan, berbagai permasalahn pendidikan diatas dapat teratasi dengan ide-ide beliau yang cemerlang dan konsep open minded yang beliau miliki.
Memperbaiki Kualitas Guru
“Materi pelajaran lebih penting dari pelajaran. Guru lebih penting dari materi pelajaran. Jiwa guru lebih penting dari guru itu sendiri” (K.H. Zarkasyi).
Untuk memperbaiki mutu pendidikan Indonesia, perbaiki terlebih dahulu gurunya, bukan kurikulumnya. Guru menjadi unsur penting dalam pendidikan. Berubahnya orientasi guru dari mengajar menjadi mencari uang, tidak lepas dari minimnya upah yang mereka terima.
Terlampau banyak rekaman video yang memperlihatkan jerih payah guru honor untuk sampai ke sekolah guna mengajar namun upahnya tidak lebih tinggi dari seorang youtuber. Bukan hanya itu, sistem sertifikasi yang berlaku bagi guru dan dosen dengan ASN menjadikan mereka berbondong-bondong untuk mengumpulkan poin agar dapat menghasilkan upah yang lebih tinggi. Ini mengakibatkan banyak guru yang menomor duakan proses belajar mengajar dan pergi berburu poin. Bahkan, tidak sedikit karya tulis anak ajarnya dicatut tanpa sepengetahuan anak didiknya untuk dijadikan bahan naik pangkat.
Kondisi yang sangat memprihatinkan dan jelas mencoreng dunia pendidikan. Anies dengan kecerdasan dan pengalamannya dalam mengatur pendidikan, mampu untuk merubah ini. Menaikkan upah guru tanpa membuat guru meninggalkan jam pelajaran sudah pernah diberlakukan olehnya. Anies juga pernah membuat gerakan belajar-mengajar ke desa-desa terpencil dengan membawa guru yang pantas untuk digugu dan ditiru.
Menumbuhkan Kembali Penanaman Nilai
Tingginya ilmu seseorang tidak akan bernilai jika tidak dibarengi dengan etika yang dimilikinya. Indonesia tidak dikenal sebagai masyarakat yang anti sosial apalagi masyarakat amoral. Banyaknya kasus hoaks yang terjadi di negeri ini, hilangnya kepercayaan kepada pemimpin, antar tetangga yang tidak rukun, dan kasus-kasus yang melibatkan murid dan guru sudah tidak menjadi hal tabu di Indonesia.
Ini terjadi dikarenakan tergerusnya moral bangsa. Dewasa ini, pemerintah hanya terfokus pada penanaman ilmu-ilmu pengetahuan namun, lupa untuk mengimbanginya dengan penanaman nilai-nilai dan budi pekerti luhur. Anies adalah satu-satunya calon presiden yang terbukti kinerjanya semasa menjadi menteri pendidikan dengan tidak menghapuskan pelajaran-pelajaran krusial dalam membangun moral bangsa Indonesia.
Ini juga yang menjadi tolak ukur banyak tenaga pendidik yang akan memilih guru (Anies) sebagai presiden Indonesia mendatang. Ditambah dengan kepribadiannya yang selalu hormat kepada guru-gurunya, dirasa Anies mampu mengembalikan moral bangsa sebagai mana mestinya.
Mengakui Ilmu-Ilmu Lokal sebagai Kekayaan Ilmu Pengetahuan dan Merubah Mental Anak Bangsa
Ilmu-ilmu lokal yang terdapat di daerah-daerah yang ada di Indonesia sudah seharusnya dijadikan sebagai kekayaan ilmu pengetahuan. Bagaimana tidak, ilmu-ilmu tersebut ternyata mampu mengalahkan dunia di sektor kedokteran, teknologi, dan bidang lainnya. Tak ayal diantaranya bahkan dapat menciptakan rumus baru dalam dunia pengetahuna.
Sudah seharusnya pemerintah memfasilitasi berbagai penelitian untuk mengangkat keilmuan dari berbagai daerah agar dapat dijadikan kekayaan ilmu intelektual Indonesia. Hanya saja kendala dari hal ini dikarenakan minimnya masyarakat Indonesia yang ingin meneliti hal tersebut.
Ini disebabkan oleh stigma masyarakat yang menganggap ilmu tersebut adalah kuno. Banyak yang berpikiran bahwa Indonesia hanya kaya akan sumber daya alam namun, miskin ilmu tradisional. Pengaruh ini disebabkan oleh pola pikir masyarakat Indonesia yang terlalu menganggap hebat dunia luar. Bahkan penelitian yang digunakan untuk menjadi doktor dan profesor harus diterbitkan di luar negeri. Ini berarti penelitian tersebut tidak dapat dinikmati oleh bangsa Indonesia.
Mental seperti ini harus dirubah. Sejatinya, bukan kita yang membutuhkan bangsa asing melainkan, mereka yang membutuhkan kita. Bangsa asing membutuhkan Indonesia untuk mensuplai barang-barang dan ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Hal sederhana ini tentu membuktikan bahwa kita sebenarnya tidak terlalu membutuhkan mereka. Langkah untuk membangun mental bangsa dapat dimulai dengan meninggalkan kebiasaan berbahasa Inggris dan bangga menggunakan bahasa Indonesia serta meningkatkan kualitas penelitian di negara Indonesia.
Anies Baswedan pernah berpendapat dalam suatu wawancara “Belajar diluar negeri bukan untuk menjadikan kita tunduk kepada mereka melainkan, agar kita mengetahui rahasia mereka dan mengalahkan mereka dikemudian hari”. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa Anies Baswedan siap untuk mengalahkan dunia luar terlebih dari segi pendidikan. Basis yang dimilikinya ialah sebagai guru, sudah pasti pendidikan Indonesia akan diperkaya dan dirubah dengan berbagai kebijakan yang lebih baik ke depannya.
Mengubah Wajib Belajar 12 Tahun
Bonus demografi 5.0 sudah seharusnya dipersiapkan secara matang oleh pemangku kebijakan, termasuk di dalamnya sektor pendidikan. Wajib belajar 12 tahun sudah dianggap tidak optimal untuk menyambut 5.0. Ini dikarenakan manusia dituntut untuk matang dari segi intelektual, dan kematangan itu ditandai dengan gelar yang dimiliki.
Gelar paling rendah yang diakui hingga saat ini ialah gelar Strata 1 (S-1). Sehingga kewajiban wajib belajar 12 tahun juga harus dirubah. Jika pemerintah ingin menciptakan manusia Indonesia yang baik, pemerintah juga harus mencari cara agar warga Indonesia mampu meraih pendidikan yang layak.
Pemerintah dapat memurahkan biaya pendidikan dan mencari alternatif lain dari segi ekonomi. Cara lainnya juga bisa dengan memudahkan peluang penerimaan beasiswa dan mulai menata soal-soal untuk penerimaan beasiswa agar sesuai dengan permasalahan yang akan dihadapi oleh penerima beasiswa di program studi yang akan diambil. Cara terakhir ialah dengan memberikan pinjaman kepada calon mahasiswa baru dan nantinya lulusan sarjana tersebut dapat mencicil uang kuliah tersebut setelah ia mendapatkan pekerjaan yang layak.
Semuanya bisa dilakukan jika pemerintah serius dalam menangani permasalahan pendidikan di Indonesia. Sejatinya pemerintah Indonesia harus menciptakan manusia Indonesia yang baik bukan manusia Indonesia yang buruh. Jika permasalahan pendidikan sudah teratasi dengan baik, niscaya cita-cita republik Indonesia yang lain dapat dengan mudah digapai.
Guru menjadi presiden adalah kunci dari itu semua. Semboyan ini bukan hanya semboyan omong kosong belaka. Lucu halnya jika tentara, konsultan, atau bahkan politisi murni yang dipercayai untuk merubah sistem pendidikan Indonesia. Oleh sebab itu, guru yang layak dalam hal merubah sistem pendidikan. Anies Rasyid Baswedan adalah guru yang dimaksudkan dalam guru menjadi presiden.
Muhammad Valiyyul Haqq, Kolumnis
[1] BPUPKI. 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Jakarta.