Hilangnya keakraban sosial antarwarga negara tentu saja dipicu oleh kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak adil dan merugikan salah satu pihak.
Hilangnya keakraban sosial antarwarga negara tentu saja dipicu oleh kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak adil dan merugikan salah satu pihak.
MENYEDIHKAN sekali berita yang kita dengar beberapa hari ini, mulai dari kerusuhan di Sorong yang menyebabkan meninggalnya 19 orang. Kerusuhan dipicu oleh pertikaian antara dua kelompok massa yang berujung pada pembakaran tempat hiburan.
Sebagaimana disampaikan oleh Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo yang dilansir Tribun News. Dia menyampaikan setidaknya ada 19 orang meninggal dunia akibat pertikaian dua kelompok massa yang berujung pembakaran tempat karaoke Double O di Kota Sorong, Papua Barat pada Selasa (25/1/2022).
Dedi menerangkan 18 orang meninggal dunia karena terjebak di dalam tempat hiburan malam yang terbakar. Sementara itu, seorang lainnya meninggal karena bentrokan.
Belum lagi usai kasus itu, kita dikagetkan lagi dengan isu bentrok dua kelompok massa di Maluku Tengah, Haruku. Bentrokan dipicu oleh perselisihan tapal batas desa, yang menyebabkan puluhan rumah dibakar.
Hal yang baru lagi adalah pernyataan Eddy Mulyadi yang sejatinya sebagai sebuah satire atas kebijakan Pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat, menuai kontroversi, padahal pernyataan itu sebagai pernyataan kegeraman yang tidak ada maksud menghina atau merendahkan suku atau budaya lain, namun direspon berlebihan, meski Eddy sudah meminta maaf dan menjelaskan maksud sesungguhnya dari pernyataan dia.
Lebih menyedihkan lagi konflik di Papua yang menyebabkan gugurnya dua orang anggota TNI akibat serangan dari kelompok KKB.
Hilangnya keakraban sosial antarwarga negara menjadi penyebab mengapa orang begitu mudah untuk menjatuhkan orang lain dan bahkan merasa puas kalau bisa menyakiti. Hilangnya keakraban sosial antarwarga negara tentu saja dipicu oleh kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak adil dan merugikan salah satu pihak.
Lihat saja bagaimana penanganan kasus Eddy Mulyadi dan Arteria Dahlan, tampak sekali terjadi perbedaan, dan tentu itu menjadi tontonan ketidakadilan yang telanjang dihadapan rakyat.
Ketidakadilan distribusi akses ekonomi juga menjadi penyebab terjadinya aksi aksi premanisme di tengah masyarakat kita. Masyarakat kita mudah saling menyakiti, bahkan aktifitas menyakiti dan memecah belah bangsa dijadikan sebagai profesi untuk mendapatkan keuntungan.
Wibawa negara hampir tidak ada sama sekali, bahkan dalam konflik yang menyebabkan gugurnya dua orang prajurit TNI, Teroris KKB melalui kanal yang disebarkan menyatakan bahwa merekalah yang membunuh dan menegaskan mereka tidak akan segan-segan lagi membunuh siapa pun yang datang ke Papua.
Papua, Maluku, Kalimantan, Sunda dan daerah daerah lain di Indonesia sejatinya adalah daerah yang damai dan nyaman. Bertahun tahun kita tak pernah dengar antarmereka meski berbeda suku, agama dan budaya, mereka bisa saling menerima dan menghargai satu sama lain. Namun saat ini akibat dipicu oleh kebijakan yang tidak adil dan merugikan kepentingannya, maka merekapun mudah sekali bereaksi atas apa yang menyangkut daerahnya.
Di tengah situasi yang semakin rentan dan hilangnya keakraban sosial, di Jakarta kita melihat potret Gubernur Anies membangun keakraban sosial antarwarga masyarakat. Anies di penghujung tahun 2021, meresmikan pembangunan Gereja Katolik Damai Kristus di Duri Selatan, Tambora, Jakarta Barat.
Sebagai pemimpin, Anies Baswedan berusaha menempatkan rasa keadilan dan mengayomi warga yang beragam ini dengan sebaik baiknya. Sikap ini ditunjukkan Anies ketika merasakan bahwa ada kebijakan Pemprov DKI yang dianggap merugikan rakyat, Anies pun mencabut aturan yang melarang pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) maupun pengalihan hak atas tanah di Kelurahan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Hal itu tercantum dalam Keputusan Gubernur No. 1596 Tahun 2021 tentang Pencabutan Keputusan Gubernur Nomor 122 Tahun 1997 tentang Penetapan Penguasaan Bidang Tanah Seluas +/- 23 Ha untuk Pembangunan Rumah Susun Murah dan Fasilitasnya di Kelurahan Petamburan Kecamatan Tanah Abang Kotamadya Jakarta Pusat.
Hal itu dilakukan oleh Anies sebagai perwujudan rasa keadilan dan untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan lahan bagi masyarakat. Rasa suka cita masyarakat muncul dan mereka pun bisa mengapresiasi dan hormat atas kebijakan yang diberikan Anies sebagai Gubernur DKI.
Jakarta sebagai miniatur Indonesia, oleh Anies didekati dengan pendekatan yang menyentuh rasa kemanusiaan dan keakraban, sehingga kedatangan Anies di pelosok-pelosok Jakarta selalu ditunggu dan dielu-elukan oleh warganya.
Sentuhan Anies, pelukan Anies dan jabat tangan Anies kepada warganya memberi energi hidupnya keakraban sosial di Jakarta. Jakarta pun ditangan Anies semakin menampakkan keterbukaan dan saling menerima antara warga satu dengan warga yang lainnya.
Bagi Anies membangun Jakarta bukan hanya membangun fisiknya, tapi Anies juga melakukan bagaimana membangun psikososial warganya. Keakraban Sosial Berwarga Negara.
Dalam kesempatan penyerahan IMB Gereja Katolik, Duri Selatan Tambora, Jakarta Barat, Anies mangatakan “Jika Jakarta menjadi rumah bagi siapa pun, maka kesetaraan dalam kesempatan menjadi hadir di tingkat operasional. Kita semua berharap agar apa yang kita kerjakan bersama-sama yaitu menghadirkan keadilan membangun persatuan benar-benar bisa tumbuh di Jakarta.”
Senyum Anies menjadi bagian penting bagaimana Anies membangun keakraban sosial dan memperlakukan warganya. Tak heran warga di luaran Jakarta pun “iri” dengan warga Jakarta. Mereka ingin Anies tak hanya dimiliki oleh Jakarta saja, Anies harus menjadi milik Indonesia.
Mereka berharap, ditangan Anieslah, Keakraban sosial antarwarga negara bisa terekatkan kembali. Semoga saja Anies segera bisa dibebaskan, sebagaimana permintaan Anies kepada kakanda Nurdin Halid, bahwa dia ingin segera dibebaskan dari Jakarta untuk menuju Indonesia.
Sehat selalu Mas Anies, tetaplah tersenyum, karena senyum itulah yang merekatkan hati kita sebagai warga negara.
Surabaya, 28 Januari 2022
Isa Ansori, Kolumnis