Menyikapi jodoh-jodohan yang dimunculkan, itu tidaklah perlu “pecinta” Anies sampai hilang kesadaran, apalagi mesti patah hati segala.
Menyikapi jodoh-jodohan yang dimunculkan, itu tidaklah perlu “pecinta” Anies sampai hilang kesadaran, apalagi mesti patah hati segala. Tidaklah perlu muncul bentuk ancaman segala: jika sampai Anies berjodoh dengan Puan, maka akan begini dan begitu. Intinya, tidak memilihnya. Tidak Anies-aniesan, kata kawan lain yang lunglai seperti hilang kesadaran yang tidak semestinya.
Menjodohkan Anies Baswedan dengan Puan Maharani, itu sah-sah saja. Tapi memposisikan Puan di depan, artinya dimunculkan sebagai calon presiden (capres) jadi perdebatan akal sehat. Tidak bermaksud mengecilkan Puan Maharani, yang meski sudah dipilih partainya (PDI Perjuangan).
Memang hanya PDI-P yang bisa melenggang sendirian mencalonkan kadernya sebagai capres/cawapres. Karena perolehan suaranya memenuhi syarat presidential threshold yang 20%. Maka, jika kekeuh tetap mencalonkan Puan Maharani sebagai capres, itu tidak masalah.
Diposisi mana pun Puan ingin ditempatkan, pada posisi capres atau cawapres, boleh-boleh saja. Tapi salah meletakkan Puan, atau siapa pun capres/cawapres, itu akan menuai kerugian. Menampilkan capres-cawapres mesti dengan ukuran yang tepat. Salah menampilkan pasangan–atau apalagi posisi pasangan–siapa yang pantas sebagai capres dan cawapres, pastilah kegagalan yang didapat.
Menjodoh-jodohkan pasangan, itu juga punya seni tersendiri. Seni kepantasan. Tidak sekadar enak dipandang, tapi juga sudi untuk dipilih pemilih. Maka tidak bisa dipasang-pasangkan sesukanya. Mestinya ini jadi pertimbangan utama partai pengusung, agar tidak sesal kemudian.
Puan Maharani memang jadi langganan “dijodoh-jodohkan”. Jauh sebelumnya, Puan dipasangkan dengan Prabowo Subianto (Ketua Umum Partai Gerindra). Dimana Prabowo sebagai capres, sedang Puan cawapres. Cukup ideal sih, tapi entah mengapa wacana ini seperti menguap tak tentu rimba. Konon, elite PDI-P tak sudi jika Puan ada di posisi cawapres.
Lalu, Puan diminta menjalani “petualangan” cinta dengan nama lain yang memang punya elektabilitas tinggi. Muncul wacana–setidaknya baliho dimunculkan di mana-mana– Ganjar Pranowo (gubernur Jawa Tengah yang sekaligus kader PDI-P) dijodohkan dengan Puan. Lagi-lagi Puan diposisikan sebagai cawapres. Tentu ini tidak bisa diterima elit PDI-P, bagaimana mungkin darah biru partai dari trah Soekarno dinomorduakan. Itu hal yang mustahal.
Memaksa Puan Maharani wajib sebagai capres, itu hak PDI-P yang memang sudah punya tiket maju sendiri tanpa perlu berkoalisi dengan partai lainnya. Sikap pede PDI-P, sebagai partai pemenang pemilu 2019 dengan menjagokan Puan, itu hal wajar. Meski elektabilitas Puan tidak beranjak diposisi bawah versi berbagai lembaga survei.
Lalu, Burhanudin Muhtadi dari lembaga survei Indikator Politik Indonesia, dipilih jadi perantara menjodohkan Puan dengan Anies Baswedan. Katanya, Puan-Anies itu dari segi kualitatif punya potensi sebagai pasangan saling melengkapi. Masa sih, komen pihak yang menyangsikan pendapatnya.
Prabowo, Ganjar, dan Anies adalah kandidat teratas dalam hampir seluruh lembaga survei. Anies terkadang ada di posisi 2 atau bahkan posisi 1. Tapi bisa diletakkan di posisi 3. Begitu pula dengan Prabowo dan Ganjar. Awam pun menyebut, tergantung siapa lembaga surveinya. Indikasi sudah tergerus kepercayaan publik pada lembaga survei.
Puan-Anies dianggap saling melengkapi, jika dibanding dengan pasangan lainnya. Setidaknya itu temuan Burhanudin Muhtadi, meski itu bisa diperdebatkan. Tapi untuk apa, wong mayoritas publik cuma menganggap itu sebagai jodoh-jodohan, yang belum tentu beneran bisa berjodoh. Tapi setidaknya Puan memang sedang coba disanding-sandingkan, melihat kemungkinan yang ada. Semacam peruntungan nasib saja.
Menyikapi jodoh-jodohan yang dimunculkan, itu tidaklah perlu “pecinta” Anies sampai hilang kesadaran, apalagi mesti patah hati segala. Tidaklah perlu muncul bentuk ancaman segala: jika sampai Anies berjodoh dengan Puan, maka akan begini dan begitu. Intinya, tidak memilihnya. Tidak Anies-aniesan, kata kawan lain yang lunglai seperti hilang kesadaran yang tidak semestinya.
Karenanya, Puan-Anies yang dianggap dari segi kualitatif sebagai pasangan paling saling melengkapi, itu patut dipertanyakan. Bisa jadi itu hal benar, jika dilihat dari kepentingan “sang pemesan” dari lembaga surveinya. Wallahu a’lam.
Ady Amar