Tiga mahasiswa tadi memilih Anies sebagai pemimpin yang akan datang. #kbanews
Sesungguhnya tidak ada yg mengejutkan dari pendapat 3 dari 5 mahasiswa Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto itu. Mereka tampak lebih jujur, berterus terang dan tanpa sungkan di hadapan bupati Banyumas. Mereka, jangan lupa, generasi muda yg belum “tercemar”. Seharusnya begitu. Justru, sang Bupati itu yang pura-pura “tidak jujur”, dia ingin menunjukkan demokratisasi dlm ruang pendidikan.
Seharusnya Pak Bupati tidak perlu mengatakan “meskipun berbeda dengan saya” karena ini bentuk insinuasi kepada yang hadir. Pak Bupati pun tidak perlu sungkan kepada yang hadir sebab Pak Bupati “pasti” pendukung Ganjar. Tapi inilah kenyataan yg tidak dapat dihindari dalam ruang demokrasi masyarakat kita.
Kenapa pula sang Bupati harus sungkan dan menyatakan isyarat bhw dia bukan memilih Anies ataupun Prabowo untuk pilpres yang akan datang? Nada suaranya tidak menjelaskan bahwa dia seorang birokrat ASN yang dilarang berkampanye. Apa ada efek kepadanya jika ditonton Ganjar? Baiklah perlu dimaklumi juga dialog antar mahasiswa dan Bupati itu adalah contoh karakter kaum priyayi dan rakyat sejak dulu. Karena tidak mudah berbeda pandangan dengan yang lebih atas, meski dikatakan “tidak masalah” ketika tiga mahasiswa itu memilih Anies. Pak Bupati melindungi dirinya dengan mengatakan “meski kita berbeda”. Maka yang pas bagi kita tentu sikap mahasiswa tadi, berani berbeda. dgn pak Bupati.
Apakah karena itu terjadi di Banyumas bukan di Solo atau Yogya? Bisa diurut ke sana. Ada beda antara Banyumas dengan Solo atau Yogya. Dua kota terakhir adalah “core” (inti) budaya Mataram dan Banyumas adalah “peripherial” (tepi, sekeliling). Dalam konteks komunikasi, kalangan inti lebih memilih “high contact communication” sedangkan sebaliknya “low contact communication”. Bedanya terletak pada “halus” dan yang “terus terang” tadi. Karena itu pula banyak orang yang tidak paham tentang Mataram (Jawa) dan akan selalu berbeda pada posisi ini. Kebanyakan orang Jawa selalu berpikir bahwa yang bukan Jawa harap memahami cara berkomunikasi mereka.
Orang Banyumas yang di “tepi” dalam sejarah kita berbeda dengan orang “inti” yang di pusat. Jenderal Sudirman berbeda dengan Sukarno, ia memilih Tan Malaka dan bergerilya di hutan menghadapi Belanda. Ahmad Yani, yang Banyumas beda dengan Suharto ketika di tahun 1965. Ini perumpamaan saja bahwa wong Banyumas banyak jadi serdadu daripada priyayi.
Apakah perbedaan itu akan menurun terus ke generasi baru? Hal ini tentulah tentang budaya yg lebih cair gampang berubah tetapi tidak mudah lenyap. Lihatlah alamnya dan budaya yg berkembang di sana, jika lebih subur maka akan lebih nyaman, dan sebaliknya jika alam dan budayanya gersang maka akan statis. Namun, kini orang “core” dan orang “peripherial” saling berinteraksi, saling meniru agar yang lebih cocok. Jadi di kalangan Mataram sejatinya berlangsung evolusi tetapi bukan revolusi.
Mereka, sepengetahuan saya susah untuk berevolusi. Orang Wonosari kini sudah punya perusahaan bus dan kedai bakso terkenal. Sudah mudah ke kota. Tidak lagi bergelut dengan kemelaratan. Kalaupun berevolusi wujudnya tidak jelas, mungkin masih belajar tentang keterusterangan dan keterbukaan. Jika masa Orla orang Gunung Kidul dikenal daerah miskin, melarat tiada tara, adalah kita saksikan waktu itu wajah mereka rata-rata keras alias “segi-empat”.
Saya saksikan, di awal tahun 1980an sebagian besar orang Wonosari masih miskin, mereka menyangkul sawah yg tanahnya kering kerontang. Tapi tetap menyangkul tanah karena harus menghasilkan sesuatu yg bisa dimakan. Astagfirullah. Namun, saya yakin orang Gunung Kidul sekarang (apalagi perempuannya) tidak lagi “segi-empat’ wajahnya tentulah sudah kotaan lancip dan ayu, seperti Ratna Sari Dewi. Orang Wonosari sudah semakin makmur dan ekosistem dan budayanya berangkat naik.
Lalu kenapa pula tiga mahasiswa tadi memilih Anies sebagai pemimpin yang akan datang?
Video tersebut tidak dapat membuktikan bahwa kelima mahasiswa itu akan juga memilih Anies. Tetapi Anies telah unggul 3 di antara 5. Jadi Anies unggul dalam survai cepat ini. Saya yakin pula pak Bupati tadi tidak ingin meneruskan poling untuk 2 mahasiswa itu karena justru akan memerahmukakan pak Bupati sendiri di mata orang banyak. Memanglah penetrasi medsos ke dalam lingkungan kita sukar langsung dideteksi.
Medsos itu ada di tangan masing- masing. Kalau di daerah Banteng saja Anies unggul tentulah suatu gejala yg menarik ketika banyak kalangan, dengan dukungan dana tak terkira, bergerak menggerogoti suara Anies dari segala arah. Saya kira ini suatu catatan penting dalam studi kasus pemilihan umum di Indonesia yang selama ini percaya pada “no money no vote” . Banyumas sebenarnya dari sisi kultur adalah lahan merah ketimbang putih. Itulah catatan penting bahwa Anies akan menang termasuk di Jateng. (kba)