Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, tipe yang bekerja dalam sunyi. Tidak memilih hingar bingar diawalnya. Bukan pemimpin jenis yang belum bekerja, bahkan baru menggagas, sudah merasa berhasil dan butuh tepuk tangan segala. Anies tidak memilih itu.
Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, tipe yang bekerja dalam sunyi. Tidak memilih hingar bingar diawalnya. Bukan pemimpin jenis yang belum bekerja, bahkan baru menggagas, sudah merasa berhasil dan butuh tepuk tangan segala. Anies tidak memilih itu.
Oleh: Ady Amar, Kolumnis
BEKERJA dalam sunyi itu nikmat. Tidak perlu repot-repot harus bayar tim sorak untuk menunjukkan ia pemimpin yang tengah bekerja. Karenanya, ia tak butuh tepuk sorak bergemuruh. Biasanya yang memulai bekerja dengan koar-koar, itu cuma sekadar kerja menancapkan tiang pancang, dan lalu merasa sudah selesai. Tanpa ada progres kelanjutan.
Maka tiang-tiang pancang tampak berserakan di kota sekadar menghibur, bahwa ia bekerja, dan pekerjaan memang belum selesai. Perlu waktu untuk menyelesaikannya. Banyak yang baru dikerjakan diawal, dan ditinggal begitu saja, jadi bongkahan bangkai beton yang tak sedap di pandang mata.
Karakter pemimpin bisa dilihat dari yang biasa berakrab dengan seremonial, saat di awal memulai menggarap pekerjaan. Cenderung tidak fokus pada apa yang semula digagas. Belum selesai satu pekerjaan dikerjakan, lompat ingin menggagas pekerjaan lainnya. Tidak ada yang tampak selesai dikerjakan.
Ada pula corak pemimpin yang fokus pada satu pekerjaan besar, dan pekerjaan lain yang digagasnya pun tetap dijalankan, tanpa perlu seremonial berlebihan. Bahkan apa yang dikerjakan nyaris tak terdengar. Terkesan bekerja dalam sunyi. Tapi menjelang pekerjaan selesai, progres dari yang dikerjakan itu bisa dilihat, yang buat publik terperanjat.
Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, tipe yang bekerja dalam sunyi. Tidak memilih hingar bingar diawalnya. Bukan pemimpin jenis yang belum bekerja, bahkan baru menggagas, sudah merasa berhasil dan butuh tepuk tangan segala. Anies tidak memilih itu.
Bekerja dalam sunyi itu tampak saat pembangunan Jakarta International Stadium (JIS). Proyek besar yang bisa dibanggakan sebagai karya anak bangsa. Semua pekerjanya lokal, asli dalam negeri. Tidak perlu harus repot-repot impor pekerja sampai ke Cina segala.
Anies mulai mengerjakan stadion sepak bola megah itu, bahkan lebih megah dari Old Trafford, markaz Manchester United (MU)– yang disebut stadion termegah di Inggris, itu dengan diam-diam. Anies seolah menyihir kita semua. Tiba-tiba hampir saja stadion itu selesai dibangun. Wujud proyek itu mulai ditampkkan ke permukaan. Tidak sedikit yang melongo takjub. Terkagum. Itu wajar.
Anies ibarat Pangeran Bandung Bondowoso dalam legenda pendirian Candi Prambanan, yang ditarget Roro Jongrang, yang sudi disunting jika syarat membuat candi dalam semalam bisa dipenuhi.
Seperti juga pembangunan JIS yang juga punya target mesti dirampungkan. Tentu bukan kerja semalam, seperti kisah legenda tadi. Janji dipenuhi untuk menghadirkan pada warga Jakarta. Terutama klub sepak bola Persija, sebuah stadion bertaraf internasional, dengan pengerjaan fantastis.
Anies tidak sekadar buat janji, sepertinya ia memang tidak terbiasa membual. Tidak seperti pemimpin lain yang mudah buat janji, tapi tanpa realisasi pemenuhan atas janjinya. Khianat itu namanya. Pemimpin yang terbiasa memainkan kata berkebalikan, yang jadi model membual. Kata meroket boleh dimaknai berkebalikan, menjadi merosot atau terjungkal. Asyik melebih-lebihkan, dan itu bermakna berkebalikan.
Kata “tidak” bisa bermakna berkebalikan. Tidak mengimpor, ternyata mengimpor. Dan seterusnya. Tanpa protes keras publik atas janji yang tidak ditepati, menjadikan diri tidak bosan berakrobat dengan makna berkebalikan.
Maka, menghadirkan seorang Anies Baswedan sebagai alternatif pemimpin masa depan, itu upaya rasional. Mestinya ke depan tidak boleh lagi muncul pemimpin pansos, yang hanya pandai membual janji, tapi tak mampu memenuhi janjinya.
Anies sudah memiliki modal sebagai pemimpin dengan kriteria amanah. Ia tunaikan janji-janji kampanyenya satu persatu. Anies punya modal di atas rata-rata seorang pemimpin, jika nantinya dihadirkan berkontestasi di 2024. Meski satu periode memimpin ibu kota, ia tampil sarat prestasi. Hasil kerjanya tampak terang benderang. Tentu itu bagi mereka yang mampu melihat dengan mata dan hati bersih.
Anies Baswedan amat pantas memperoleh kesempatan lebih dari jabatan yang selama ini didapat dan dijalankan dengan baik. Pemimpin demikian bisa dihadirkan, jika rakyat berharap adanya perubahan ke arah yang lebih baik.