Transaksi yang positif dilakukan karena Indonesia tidak hidup sendiri, melainkan hidup berdampingan dengan negara dan bangsa lainnya, yang itu tentu tidak mungkin satu pemikiran dan satu pandangan.#aminkanindonesia
JAKARTA | KBA – Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Sudarnoto Abdul Hakim mengaku sepandangan dengan Anies Baswedan soal perlunya ada perubahan terkait paradigma politik luar negeri Indonesia ke depan. Dari yang saat ini bersifat transaksional menjadi berbasis nilai.
“Memang nilai-nilai itu menjadi sangat penting. Nilai itu sangat terasa sekarang. Membela kemanusiaan kah, atau membela politik praktis. Itu kan gitu ya, kalau mau disingkat. Bagi saya, politik praktis itu penting, tapi komitmen untuk pembelaan terhadap kemanusiaan itu menjadi sesuatu yang faktor penting, sebagai faktor yang harus kita perjuangkan,” katanya saat dihubungi KBA News, Minggu, 12 November 2023.
Sebelumnya, Anies baswedan menyampaikan, berbagai pihak menilai bahwa politik luar negeri Indonesia masih bersifat transaksional. Artinya, Indonesia bergerak ketika politik luar negeri memberikan keuntungan investasi, keuntungan perdagangan. Bukan tanggung jawab sebagai warga dunia.
Prof. Sudarnoto mengaku paham dengan pemikiran mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Ia mengatakan juga satu pemikiran dengan Anies Baswedan.
“Saya mengerti, saya paham yang dipikirkan oleh Pak Anies. Karena itu juga yang sebenarnya menjadi pikiran saya,” kata pria yang kini jadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional itu.
Namun, lanjut dia, soal kata transaksi, dirinya lebih cenderung memaknai hal itu bersikap transaksi positif. Itu karena, ada transaksi yang menjerumuskan, ada transaksi yang tidak menjerumuskan.
“Transaksi-transaksi itu biasa, karena hidup kita ini transaksi. Tapi ada transaksi yang menjerumuskan, ada transaksi yang tidak menjerumuskan. Tentu ada variabel-variabel lain yang kaitannya dengan transaksi,” ucapnya.
Menurutnya, transaksi yang positif dilakukan karena Indonesia tidak hidup sendiri, melainkan hidup berdampingan dengan negara dan bangsa lainnya, yang itu tentu tidak mungkin satu pemikiran dan satu pandangan.
“Jadi, perlu ada negosiasi. Kalau boleh saya menterjemahkan kata transaksi itu ya di situ ada perjanjian, ada komitmen. Tapi pilihannya harus pilihan-pilihan yang moderat. Kalau pilihan ekstrim tentu tidak mungkin. Menurut saya, transaksi yang moderat itu ya jalan tengah,” ujarnya.
Diperlukan Dua Hal
Sebelumnya, dalam acara Pidato Calon Presiden Republik Indonesia: Arah dan Strategi Politik Luar Negeri, di CSIS Auditorium Gedung Pakarti Center, Jakarta Pusat, Rabu, 8 November 2023, Indonesia di masa depan, kata Anies, harus ada pergeseran paradigma politik luar negeri Indonesia, dari yang lebih transaksional ini value based smart power.
“Kami mencoba menggeser dari transaksional menjadi berbasis nilai. Dan strateginya dari diplomasi yang pragmatis menjadi diplomasi yang cerdas,” katanya.
Menurutnya, untuk mewujudkan kebijakan luar negeri berbasis nilai ini diperlukan dua hal. Pertama peningkatan kapabilitas dan kedua adalah peningkatan daya tarik. “Dua-duanya ini dikerjakan,” jelas suami Fery Farhati itu.
“Peningkatan kapabilitas tentu saja dengan kerjasama perekonomian. Kemudian kolaborasi postur pertahanan dan lain-lain. Dan daya tarik Indonesia dengan diplomasi kebudayaan, pendidikan yang membuat Indonesia punya daya tarik yang luar biasa,” ujarnya. (kba).