Pejabat publik harus siap berkomunikasi dengan siapa pun yang cara berkomunikasinya berbeda-beda.
Pejabat publik harus siap berkomunikasi dengan siapa pun yang cara berkomunikasinya berbeda-beda.
JAKARTA | KBA – Menghadapi kritikan, tudingan negatif, hujatan, cemoohan, dan perundungan lewat media sosial selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengaku rileks saja. Tidak baper.
“Sudah lewat masanya,” kata Anies saat berbincang di Podcast Total Politik bertema Anies Baswedan Baper Banjir Kritik? dengan host Budi Adi Putro dan Ari Putra yang dikutip KBA News, Kamis, 20 Januari 2022.
Tidak ada latihan khusus bagi Anies agar tidak baperan. Anies sudah tertempa sejak lama. Kala mahasiswa, Anies aktif berorganisasi. Perbedaan pandangan antarmahasiswa biasa terjadi. Biasanya kritik dituangkan dalam poster. Yang setuju mendukung, yang tidak setuju menentang.
Sebagai mahasiswa, posisi Anies mengamati para politisi. Kini sebagai pejabat, berganti posisi sebagai yang diamati dan harus berpikiran terbuka, mau mendengarkan, serta rileks. “Jadi, itu bukan latihan secara khusus (agar tidak baper), tetapi perjalanan kehidupan sejak zaman sekolah, kuliah sampai sekarang. Itu membuat ada kebiasaan untuk ketemu dengan pandangan yang berbeda dan itu sebagai sesuatu yang normal. Kita nggak mungkin bertemu dengan semuanya yang sama.Tidak mungkin,” tutur dia.
Bagi Anies, ungkapan bebas lewat media sosial sejatinya sudah ada sejak dulu. Sudah berabad-abad seumur sejarah manusia, manusia dikaruniai dua telinga dan dua mata. Mendengar dan melihat menggunakan dua anggota tubuh itu.
“Jadi kalau gubernur diomongin semua orang, presiden diomongin semua orang, menteri diomongin semua orang, itu bukan barang baru. Dari dulu seperti itu. Bedanya, kalau dulu kupingnya hanya dua, sekarang ada ini nih (memegangi telepon genggam). Jadi omongan di warung kopi kedengeran, di mana-mana kedengeran,” tutur dia.
Sebagai orang yang belajar tentang demokrasi, Anies menegaskan bahwa menghormati pandangan yang berbeda sudah menjadi hal biasa. Gaya menghadapi begitu beragamnya cara pandang masyarakat pun dia pelajari salah satunya dari profesi lain.
“Saya sering membayangkan bahwa tugas di wilayah publik sama seperti kita melayani kesehatan masyarakat. Tidak bisa memilih. Jadi dosen itu akan ketemu mahasiswa yang sudah lulus SMA. Namun, kalau jadi dokter, tidak bisa memilih pasien berdasarkan tingkat pendidikan. Dokter itu akan ketemu orang-orang yang datang dengan variasi ekspresi,” katanya.
Menurut Anies, pejabat publik harus siap berkomunikasi dengan siapa pun yang cara berkomunikasinya berbeda-beda. “Yang penting cara kita jangan yang berubah-ubah. Jadi ketemu siapa pun, ya sampaikan dengan cara beradab. Sampaikan dengan tata cara yang kalau kita tengok lagi nanti, nggak malu lihatnya,” ujar dia.
Program Indonesia Mengajar menambah pengalaman cara berkomunikasi semacam itu. Ketika keliling ke pelosok Indonesia, kosa kata masyarakatnya terbatas, tetapi relawan tetap mampu berkomunikasi dengan baik. Terpenting bersedia mendengarkan.
“Jadi kalau melihat mereka terdidik atau tidak, pada ujungnya ada di kita. You are be great speaker what needed is your to be a great listener. Kita seringkali berpikir bagaimana menjadi pembicara yang baik, itu bagus-bagus saja. Namun, yang enggak kalah penting adalah jadi pendengar yang baik.”
Bagi Anies, mendengarkan itu terserah saja frekuensinya. Tidak bisa kita berpikir, orang lain berkomunikasi dengan cara yang sama. Yang jelas didengarkan. “Masyarakat di Jakarta ini, berkomunikasinya sangat baik. Terus terang, tetapi keterusterangan ini dengan adab yang baik. Umumnya begitu itu. Jadi, dengan keterdidikan, tak membuat kita membatasi dalam mendengarkan. Siapa saja kita dengarkan,” ujar dia. (kba)