Pengaruh pidato Bung Hatta saat meresmikan Bendungan Asahan menunjukkan sesuatu yang dahsyat bagaimana pemimpin menyampaikan gagasan dan didengar lalu ditaati semua anak muda.
Pengaruh pidato Bung Hatta saat meresmikan Bendungan Asahan menunjukkan sesuatu yang dahsyat bagaimana pemimpin menyampaikan gagasan dan didengar lalu ditaati semua anak muda.
JAKARTA | KBA – Seringkali kita mengabaikan hal-hal yang dianggap kebanyakan orang sebagai tidak penting. Namun, Anies Baswedan justru menemukan banyak hal berharga dari pengalaman yang remeh temeh tersebut.
“Kadang-kadang kita dapat pengalaman (luar biasa) dari hal-hal tidak penting,” kata Gubernur DKI Jakarta itu saat berbincang di Podcast Total Politik bertema Anies Baswedan Baper Banjir Kritik? dengan host Budi Adi Putro dan Ari Putra yang dikutip KBA News, Kamis. 20 Januari 2022.
Kala duduk di kelas 1 SMPN 5 Yogyakarta, Anies berkeinginan ikut OSIS. Di kelasnya, terdapat 48 siswa. Satu angkatan dia sebanyak 10 kelas. Jadi, di SMPN tersebut terdapat 30 kelas. Artinya, teman seangkatan Anies sebanyak 480 siswa. Ditambah para guru dan siswa kelas 2 dan 3, berarti ada sekitar 1.200-an warga sekolah tersebut.
Karena masih duduk di kelas 1, dia diberi tugas yang tidak besar yaitu Seksi Pengabdian Masyarakat. Tugasnya, mengabarkan ke tiap kelas, jika ada yang meninggal dunia. Dalam seminggu, rata-rata satu hingga dua yang meninggal dunia. Bertiga dengan rekannya yang juga masih kelas satu, Anies keliling kelas-kelas. Ketika masuk ruang kelas, satu orang memegang kertas bertuliskan nama siapa yang meninggal dan membacakannya, rekan lainnya membawa kotak berjalan lewat lorong kelas untuk menerima sumbangan.
“Masalah pertama, tidak semua guru bersahabat. Jadi kalau mau mengetuk pintu kelas, kalau gurunya galak, ‘kowe wae, kowe wae’, kamu saja, kamu saja, maksudnya,” kata Anies sembari tertawa.
Bukan hanya guru yang membuat Anies dan dua rekannya sering harus tertunduk. Begitu masuk, siswa di dalam kelas mendahului untuk mengatakan telah meninggal dunia, sebelum Anies atau dua rekannya mengumumkan berita duka sembari memegang kertas dengan tangan bergetar. “Wajah kita, wajah kematian,” ujar Anies seraya menambahkan, sorakan sering dialami ketika mereka bertiga masuk ke kelas 3. “Begitu masuk, langsung disoraki.
Dari posisi di Seksi Pengabdian Masyarakat itu setidaknya ada empat hal yang dialami Anies. Pertama, paling banyak dirundung. Kedua, pengalaman ketinggalan pelajaran sehingga terpaksa sering meminjam catatan teman dan harus belajar tambahan. Ketiga, ketika uang duka terkumpul, dia harus menemui keluarga yang berduka.
“Bayangkan anak kelas 1 SMP datang ke rumah duka, nganterin dana duka, omongnya bagaimana coba? Itu pengalaman dahsyat, Latihannya bagaimana itu?” ujar Anies.
Keempat, dia berpengalaman menghadapi suasana yang menegangkan. Ketika ketemu guru, tidak semua bersahabat. “Jadi, pengalaman yang dulu dilewati itu, menjadi berguna sekarang. Kalau sekarang di-bully, biasa saja. Dulu juga biasa di-bully. Masuk satu ruangan, semuanya nyoraki. Makanya saya sering bilang ke anak-anak, kalau kita aktif, jangan milih-milih tugas, karena kita tak pernah tahu di kemudian hari akan memberi manfaat apa.”
Posisi yang dianggap remeh temeh, juga Anies jalani ketika aktif di kemahasiswaan pada awal-awal kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Dia tidak memegang posisi ketua panitia, sekretaris, bendahara, atau posisi-posisi keren lainnya. Namun, dia masuk seksi transportasi.
“Bagian antar jemput sehingga sering bertemu tokoh-tokoh seperti Rizal Ramli. Saya pernah mendapat tugas menjemput bang Ical (Aburizal Bakrie), alm Amin Aziz (perintis Ekonomi Syariah), alm Muhammad Imaduddin Abdul Rahim (sesepuh Masjid Salman ITB),” katanya seraya mengaku bersyukur karena melalui posisi itu dia justru bisa bertemu banyak aktivis serta tokoh-tokoh penting.
Dari sejumlah nama tersebut, salah seorang yang mengesankan bagi Anies adalah Imaduddin Rahim atau biasa disapa bang Imad. Awalnya, Anies hanya tahu bahwa bang Imad adalah penulis buku Kuliah Tauhid.
“Suatu ketika, bang Imad akan menjadi pembicara dalam sebuah seminar. Saya lihat CV-nya tertera insinyur listrik. Waktu saya jemput, bang Imad saya tanya, ‘Bagaimana ceritanya kuliah teknik listrik?’ Dia pun cerita, waktu SMP atau SMA tinggal di Sumut ada peresmian bendungan Asahan dan yang meresmikan Bung Hatta,” tutur dia.
Saat itu, Anies menirukan kisah bang Imad, semua ingin melihat Bung Hatta sebagai salah seorang pemimpin republik asal Sumatera meresmikan bendungan tersebut. Rakyat ingin melihat langsung karena belum ada TV, radio, atau koran. Bang Imad bersama anak laki-laki serta orang-orang sekampungnya berjalan kaki 6 jam untuk melihat Bung Hatta. Mereka mendengar pidato Bung Hatta yang mengatakan bahwa Indonesia ke depan akan membutuhkan banyak energi listrik, pembangkit listrik, dan insinyur-insinyur listrik banyak sekali. “Kata Bang Imad, begitu pulang semua ingin menjadi insinyur listrik,” ujar dia.
Bagi Anies yang menarik dari peristiwa tersebut, sesuatu yang dahsyat bagaimana pemimpin menyampaikan gagasan dan didengar semua anak muda lalu ditaati. Begitu lulus SMA, bang Imad pergi ke Jawa ingin menjadi insinyur listrik karena kata Bung Hatta negeri ini membutuhkan banyak insinyur listrik.
“Ini yang dinamakan unconditional trust. Kepercayaan tanpa syarat kepada pemimpin. Tidak ada yang memandang Bung Hatta dengan pertanyaan, ‘Ini proyek punya temennya siapa ya?’ Tidak ada. Bung Hatta dipandang sebagai tokoh berintegritas, ketika dia berkata Indonesia butuh banyak insiyur listrik, sami’na wa atho’na, kami jalani. Ini menggambarkan anak-anak muda mendengarkan pemimpinnya.
Anies juga berpendapat bahwa generasi-generasi republik ini mempunyai cita-cita dahsyat. Mereka membangun sebuah republik yang memberikan kesempatan setara kepada siapa saja. “Padahal yang membangunnya berasal dari keluarga-keluarga berstatus sosial tinggi. Yang membangun republik ini, kan kaum intelektual. Mereka dari keluarga-keluarga yang secara sosial ekonomi tinggi, aristokrat, previledge, tetapi yang mereka bangun republik yang setara. Siapa saja, dari mana saja, bisa jadi apa saja di republik ini.” (kba)