Alumnus Unair Surabaya yang pernah dua tahun studi lanjut di Belanda ini menjelaskan riset sangat penting sebagai dasar untuk pembuatan kebijakan.#aminkanindonesia
JAKARTA | KBA – Presiden Indonesia mendatang harus sosok yang memiliki latar belakang dunia riset. Sehingga pemerintahan memiliki kepedulian terhadap dunia riset dan menjadikan riset sebagai dasar pengambil kebijakan.
Demikian disampaikan periset dari Center for Social Policy Surabaya, Jawa Timur, Rosdiansyah, dikutip KBA News dari kanal Youtube The Spokesperson ID, Senin, 30 Oktober 2023.
Dia mengakui sebagian orang akan menampik harapannya tersebut. Dengan alasan, pemilu merupakan ajang untuk memilih pemimpin, bukan mencari akademisi atau peneliti. Namun, menurutnya, dalih tersebut juga bisa dipatahkan.
“Kita ini bangsa yang terus berbenah kan? Dalam proses pembenahan itu dibutuhkan adanya perubahan. Mengubah mindset masyarakat itu harus diawali oleh pemimpin yang memang betul-betul mengerti, memahami, termasuk di antaranya yang paling penting adalah bagaimana menciptakan budaya riset,” bebernya.
“Dan hanya pemimpin yang pernah melakukan kerja-kerja riset itulah pemimpin yang sangat diharapkan oleh banyak orang, wabil khusus bagi periset seperti saya,” katanya menekankan.
Di antara tiga calon presiden saat ini, dia menegaskan, Anies Baswedan yang memenuhi kriteria tersebut. Karena Anies berlatar belakang akademisi yang sebelumnya menggeluti dunia penelitian.
“Saya secara pribadi punya akses ke database jurnal internasional. Saya baca tulisan dia, hasil riset dia. Tapi kalau dua nama yang lain, saya enggak tahu. Saya enggak pernah menemukan nama mereka mereka di dalam database jurnal internasional,” paparnya.
Dalam podcast tersebut, alumnus Unair Surabaya yang pernah dua tahun studi lanjut di Belanda ini menjelaskan riset ini sangat penting sebagai dasar untuk pembuatan kebijakan.
“Kalau kita akan membuat kebijakan itu, salah satunya kan, agenda settingnya itu pengumpulan data. Dan sekaligus melihat hasil riset. Kemudian baru perumusan masalah. Perumusan kebijakan lalu kemudian sampai kepada tahap implementasi, lalu sampai tahap monitoring dan evaluasi,” ucapnya.
Dalam amatannya pemerintah belum menunjukkan keseriusan dalam mendorong budaya riset ini. Termasuk riset untuk kebijakan. “Nah untuk khusus riset-riset kebijakan saja itu sangat masih sangat minim. Masih sangat perlu pembenahan, perlu peningkatan,” ucapnya.
Dia juga menjelaskan riset ini juga penting sebagai cermin untuk melihat kekurangan dan kelemahan yang ada selama ini. Mengingat kritisisme tak bisa dilepaskan dalam budaya riset. Karena itu kritisisme yang muncul harus diapresiasi.
“Karena hasil riset itu sesungguhnya adalah cermin. Kalau kita bercermin itu, misalnya ada sesuatu yang enggak beres dengan badan kita, misalnya ada noda di pipi kita, akhirnya kita tahu, berarti kita harus bersihkan,” katanya.
“Riset itu adalah cermin. Saya ingin merujuk bagaimana para ilmuwan-ilmuwan itu harus bebas dan dibebaskan berkreasi bahkan termasuk memberikan kritik dari hasil kreasinya dalam riset itu,” pungkasnya. (kba)