Inilah yang dimaksud, konflik antara Megawati lawan Jokowi.#aminkanindonesia
JAKARTA | KBA – Guru besar Komunikasi Politik Universitas Indonesia (UI) Zulhasril Nasir menyatakan, pernyataan keras Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri yang mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK) dan menyetujui hukuman keras Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) kepada Anwar Usman menunjukkan dinamika politik yang menguntungkan pasangan Anies Baswedan- Muhaimin Iskandar (AMIN).
Dia menyatakan hal itu kepada KBA News, Senin, 13 November 2023.
“Nampak betul Megawati risau dan tidak menduga ulah Jokowi yang melawan dia. PDI-P harus bersaing dengan elite sendiri. Maka semakin yakin dia dan partainya semakin sulit mengalahkan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang tampak memiliki pertahanan dan dukungan kuat di kalangan Muhammadiyah-NU, Islam dan Nasionalis.”
Inilah yang dimaksud, konflik antara Megawati lawan Jokowi itu, secara politik menguntungkan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Mereka bisa utuh mendapat dukungan dari kelompok Islam baik modern atau pesantren. Sementara kelompok nasionalis terpecah dukungan ke Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.
“Dari pidato Mega itu menunjukkan hubungan mereka sudah jatuh ke titik nadir.”
Makin melebar
Menurut dosen senior di juruan Komunikasi UI itu, pertempuran antara Istana dan PDI-P sudah dimulai beberapa hari sebelumnya ketika pasangan Prabowo Subianto- Gibran Rakabuming Raka diumumkan bersama-sama partai pendukung. Perpecahan antar elite penguasa itu akan semakin melebar apalagi adanya perintah kalangan aparatur agar menurunkan spanduk Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Dengan tindakan para aparat yang melarang spanduk Ganjar Pranowo dan membantu memasang baliho Prabowo Subianto ini menunjukkan kesan bahwa aparat tidak netral.
“Tentu saja Megawati cemas dengan kemungkinan terjadinya kecurangan di lapangan dan penghitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagaimana dia rasakan dalam pemilu sebelum ini,” kata Zulhasril.
Dalam pengamatannya, pidato Megawati bagai nyanyian sendu menjelang akhir suatu drama. Dia tidak lagi jumawa seperti yang sudah-sudah. Juga tidak berbaju ‘full’ (penuh) merah tetapi berwarna putih melati. Meskipun pada akhir pidato berteriak “Merdeka” ia tidak dapat menyembunyikan keresahan hatinya.
Dari awal pidatonya, Megawati sudah menunjukkan ‘style’ (gaya) kendor. Ini mengingatkan kita bahwa dia dan partainya dalam kejaran penguasa pra-kejatuhan Orde Baru 1996. Maka dia sebutlah semboyan-semboyan dimana perlu seperti: membangun demokrasi, tegakkan hukum dan keadilan. Paling penting dia tekankan agar pemilu 2024 jangan lagi curang seperti terjadi sebagaimana yang sudah tàmpak gejalanya.
Dia meneriakkan keadilan, kejujuran aparatur yang tidak memihak, dan sebagainya. Sebagaimana yang dikatakannya, “marilah berbicara dengan hati, demi rakyat dan kemajuan bangsa.” Lalu memuji Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang telah “memberi cahaya di tengah kegelapan.” Ia menyebut dirinya “Ibu” serta sebagai mantan presiden.
Juga menyinggung tentang hati nurani, berkontemplasi tentang apa yang terjadi akhir-akhir ini dalam perpolitikan berbangsa. Juga memuji Ketua MKMM Jimly Assidiqly adalah Ketua MK pertama ketika Mahkamah ini dibentuk pada pemerintahannya. Memuji MKMK maka jelas Mega tidak setuju dengan keputusan MK yang menempatkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan sesuai konstitusi.
“Meskipun tidak tegas menyebutnya sebagai pelanggaran, Mega ingin mengatakan bahwa kehadiran anak Jokowi sebagai bakal calon wapres bukanlah keinginan PDI-P, tetapi maunya sang ayah, dan sang ayah tidak kulo-nuwun ke partai,” katanya mengakhiri analisanya atas situasi politik terakhir. (kba).