Anies Baswedan melanjutkan keunggulan saat memasuki 2023. Dia berhasil mengungguli Ganjar dengan meraih 32 berbanding 17 persen pada periode 1-7 Januari 2023.
JAKARTA | KBA- Warganet selalu mencari tahu informasi dengan kata kunci (keyword) Bakal Capres Partai NasDem Anies Baswedan daripada Ganjar Pranowo dalam setahun terakhir. Hasil ini didapat dari penelusuran mesin pencari Google Trends.
Menurut data Gtrends, Anies mulai memperlihatkan grafik kenaikan minat warganet pada 11-17 September 2022. Dia berhasil melewati Ganjar dengan perbedaan 70 berbanding 16 persen. Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 meraih puncak minat hingga 100 berbanding 20 persen pada periode 2-8 Oktober.
Anies masih memimpin terkait minat warganet dalam mencari informasi dirinya, meraih 81 berbanding 37 persen pada periode 16-22 Oktober 2022. Cucu AR Baswedan melanjutkan keunggulan saat memasuki 2023. Dia berhasil mengungguli Ganjar dengan meraih 32 berbanding 17 persen pada periode 1-7 Januari 2023.
Minat warganet mencari info Anies bukan hanya didominasi dari Indonesia. Data GTrends memperlihatkan penggagas gerakan Indonesia Mengajar bahkan berhasil meraih 100 persen di negara-negara seperti Arab Saudi (100 persen), Jerman (100 persen), Jepang (100 persen), Belanda (100 persen), Kamboja (100 persen), Hong Kong (100 persen), dan Korea Selatan (100 persen). Hanya di Amerika Serikat (67-33 persen), Singapura (64-36 persen), Indonesia (62-38 persen), dan Taiwan (61-39 persen), minat netizen hanya menyentuh di tingkat 60 persen.
Untuk diketahui, temuan Big Data bulan Desember memperlihatkan Anies akan meraih kemenangan jika digelar Pilpres saat ini. Bakal calon presiden dari Partai NasDem itu diproyeksi meraih 62.1 persen suara.
Hasil itu didapat dari seluruh kegiatan lapangan, pembicaraan di media sosial, dan lainnya. “Dengan nomor identifikasi unik lebih dari 50 juta jiwa dari Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (P24),” kata pakar teknologi informasi merangkap Ketua Umum Relawan Anies P-24 Dr. Gunaris ST, Dipl, PG., MBA., MSc., IPMA-Eng, kepada KBA News, Selasa, 20 Desember 2022.
Hasil itu menurut Gunaris sedikit turun dibanding bulan November yang mencapai 62.2 persen. Dia menjelaskan data itu tidak bisa dibandingkan dengan hasil-hasil survei yang jumlah responden hanya mencapai 1200 orang.
“Dibanding 50 juta orang hanya 0,0024% saja atau sangat kecil,” kata Gunaris.
Gunaris mencontohkan, sebagian besar penduduk Indonesia memakai media sosial seperti Facebook, Instagram, Tik-Tok, Whatsapp, dan Telegram. Masing-masing medsos itu ada banyak akun aktif. “Yang setiap saat memperlihatkan pergerakan data yang sangat massif dan dalam jumlah yang sangat besar,” ujar dia.
Data dalam jumlah besar dengan kecepatan tinggi dan tidak beraturan atau beragam ini yang disebut Big Data. Menurut Gunaris ada sistem yang mampu mengambil dan mengolah Big Data. Namun, karena investasi dan operasional sistem membutuhkan biaya yang sangat mahal, selain pemerintah, hanya ada sedikit pihak, lembaga, dan perusahaan yang memilikinya.
Dengan bantuan sistem kata Gunaris khusus terkait kontestasi politik, dapat diidentifikasi hingga tingkat perorangan yaitu bagaimana kecenderungan atau keberpihakan politik orang tersebut. Sistem juga dapat mencari data demografi (usia, jenis kelamin, alamat, dan lainnya) dari orang per orang.
“Karena bisa mengidentifikasi hingga tingkat perorangan atau per-akun, bisa dihitung bagaimana kecenderungan atau keberpihakan politik di tingkat RT, RW, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, “ ujar Gunaris.
Hasil analis Big Data bisa dimanfaatkan untuk pemetaan hingga tingkat RT. Analisa itu di antaranya bisa melihat orang-orang yang sudah sejalan atau mendukung kandidat yang diusung lengkap dengan tingkat militansinya.
“Contohnya, seseorang yang aktif memberikan komentar positif, memposting hal yang positif, memforward hal positif mengenai kandidat tentunya memiliki skor militansi yang tinggi. Semakin banyak data seseorang atau suatu wilayah diolah akan semakin baik data tersebut, semakin bisa dipercaya,” katanya. (kba)