Anies juga bisa menggerakkan soliditas dari masyarakat dan pendukungnya untuk pemilu serentak ini berjalan bukan saja langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) tapi juga nilai jujur dan adil (jurdil) harus ditegakkan dalam Pemilu 2024.
JAKARTA | KBA – Ikut campur atau cawe-cawe Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilu 2024 memunculkan banyak pertentangan. Pengamat Politik Citra Institute, Efriza menilai sudah seharusnya partai politik yang tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan pengusung bakal calon presiden Anies Baswedan melemahkan cawe-cawe Jokowi tersebut.
“Sudah semestinya. Cawe-cawe Presiden Jokowi bisa dilemahkan jika Koalisi Perubahan untuk Persatuan solid,” kata Efriza saat dihubungi KBA News di Jakarta, Minggu, 4 juni 2023..
Ia mengatakan Anies juga bisa menggerakkan soliditas dari masyarakat dan pendukungnya untuk pemilu serentak ini berjalan bukan saja langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) tetapi juga nilai jujur dan adil (jurdil) harus ditegakkan dalam Pemilu 2024 nanti.
“Kata kunci melawan cawe-cawe presiden adalah kemampuan Anies dan partai-partai politik dari koalisi untuk membangun kebersamaan dan kekuatan,” ungkap dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Sutomo, Serang, Banten ini.
Dengan dukungan masyarakat luas, sambung Efriza, akan membuat penguasa politik tak akan berani merecoki pemilu serentak ini. “Cawe-cawe presiden ditenggarai hanya sampai kepada mempersiapkan calon penantang Anies saja, jika masyarakat mengawasinya,” ucapnya.
Efriza menilai cawe-cawe seorang presiden malah akan memberikan dampak negatif bagi Presiden Jokowi sebagai penguasa politik, meski untuk niat baik sekalipun seperti agar kebijakan dan program kerjanya bisa dilanjutkan oleh presiden berikutnya.
“Semestinya Presiden Jokowi bersikap netral, pemerintah semestinya turut mendorong suksesnya penyelenggaraan Pemilu 2024 nanti,” tegasnya.
Dia menekankan bahwa cawe-cawe seorang presiden akan membuat rakyat kecewa, bukan saja dari sisi yang kontra pemerintah tetapi juga bagi yang pro kepada pemerintah.
Semestinya, lanjut dia, presiden membiarkan proses demokrasi pemilihan ini dalam balutan semangat luber dan jurdil. Pernyataan cawe-cawe akan menggiring rasa khawatir di benak masyarakat bahwa pemilu ini tidak akan berjalan dengan jurdil. Hal ini sama saja tidak mempercayai rakyat dalam memilih pemimpinnya.
Menurut Efriza, efek dari cawe-cawe presiden jika terbukti merecoki penyelenggaraan pemilu, maka di periode kedua Presiden Jokowi akan terjadi lagi kemunduran demokrasi. Kemunduran demokrasi pertama terjadi pada tahun 2020 lalu dan dapat saja memungkinkan terjadi lagi di pengujung pemerintahan saat ini menuju Pilpres 2024 nanti.
Efriza menyebut sudah benar pernyataan pertama Presiden Jokowi bahwa dia tidak akan cawe-cawe, tetapi pernyataan keduanya saat ini meruntuhkan pernyataan pertamanya. “Dikhawatirkan pernyataan presiden yang blunder ini dipersepsikan ketidakkonsistenan presiden bersikap layaknya Presiden Jokowi sedang ragu terhadap keputusannya sendiri, bahkan dapat saja mengarah kepada dirinya yang plin-plan,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa perlu diingat kemunduran demokrasi tahun 2020 lalu sudah menyebabkan Pemerintahan Jokowi disinyalir Neo-Orba, apalagi jika terjadi kemunduran demokrasi dengan ketidakadaannya jurdil dalam proses menuju Pemilu 2024 maka predikat bisa saja melekat Orde Baru Jilid II jika terbukti benar cawe-cawe presiden menyebabkan kehilangannya jurdil dalam proses pemilu.
“Bagaimanapun pemilu dengan kata jurdil ini sudah mulai disematkan dan menjadi kesatuan dari kata luber agar tidak mengulang kepada pemilu periodik di masa Orde Baru yang penuh dengan rekayasa pemerintah,” ungkapnya. (kba)