“Kalau saya sudah 3 itu (nilainya). Kalau sudah mampu mengusir warga negaranya satu pulau untuk investasi, itu sudah jauh dari poin merah 5 itu,” tegasnya.
JAKARTA | KBA – Aktivis antikorupsi yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Feri Amsari sepakat dengan penilaian calon presiden Anies Baswedan bahwa saat ini ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi sangat mengkhawatirkan, seperti disampaikan dalam acara “3 Bacapres Adu Gagasan” di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, pada Selasa, 19 September 2023.
Bahkan kalau Anies hanya memberi skor 5 atau 6, Feri memberikan nilai lebih rendah lagi.
“Terlihat Anies (memberi nilai) 5 dan 6, dengan peristilahan selagi kita takut mengatakan Indonesia mengganti dengan ‘wakanda’ atau ‘konoha’, itu artinya kebebasan berpendapat kita masih rendah. Dan itu juga yang terjadi di lapangan,” jelasnya kepada KBA News Kamis, 21 September 2023.
Karena, dia menjelaskan, bagaimana mungkin ada seorang menteri selaku penyelenggara negara mengancam akan membuldoser siapa pun yang menghambat investasi. Bahkan pimpinan militer secara terbuka memerintahkan anak buahnya untuk memiting masyarakat yang berdemo menolak relokasi terkait Pulau Rempang, Kepulauan Riau.
“Ini bagi saya upaya yang jauh dari harapan untuk memerdekakan publik bersuara dan berpendapat di muka umum,” ucapnya.
Karena itu pula, dia memberikan nilai 3, jauh di bawah Anies terkait kebebasan berpendapat saat ini. “Kalau saya sudah 3 itu (nilainya). Kalau sudah mampu mengusir warga negaranya satu pulau untuk investasi, itu sudah jauh dari poin merah 5 itu,” tegasnya.
Memasuki periode kedua, Pemerintahan Jokowi memang cenderung, Feri menggunakan istilah bahasa Melayu, bersilantas angan atau berbuat sewenang-wenang dalam menghadapi masyarakat yang kritis. Hal ini misalnya dialami pengamat politik Rocky Gerung, dua aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanty, dan masyarakat yang menolak berbagai proyek pemerintah seperti Kendeng, Wadas, dan terakhir Rempang.
“Itu memperlihatkan pemerintah tidak cukup dewasa menjadi pemerintahan demokratis, yang memberikan kemerdekaan menyampaikan pendapat secara lisan maupun tulisan yang dijamin oleh konstitusi,” ungkapnya.
Kasus yang menimpa Haris dan Fatia terkait podcast keduanya berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!! NgeHAMtam” misalnya. Menurutnya, langkah Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan melaporkan keduanya ke Polda Metro Jaya dan berlanjut ke pengadilan, memalukan.
Karena dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, dia menjelaskan, upaya memberantas KKN tersebut disertai dengan pemberian ruang bagi publik untuk menyuarakan pendapat dan kritiknya.
“Nah, tugas penyelenggara menurut undang-undang itu bukan memenjarakan. Kenapa disebut bahwa tugas penyelenggara negara bukan memenjarakan, tetapi memberikan klarifikasi kalau dituduh atau dikritik oleh masyarakat?” katanya dengan nada retoris.
“Karena ada tabiat kolonial yang dibawa oleh undang-undang setelah merdeka. (Karena) penyelenggara (negara) itu bisa memidanakan orang dengan konsep penghinaan, pencemaran nama baik, pencemaran presiden dan lain-lain,” sambung Feri.
Makanya, begitu reformasi bergulir seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru, UU Nomor 28 lahir yang melarang penyelenggara negara memidanakan warga yang memberikan masukan, saran dan kritik kepadanya. “Jadi dia (penyelenggara negara) harus memberikan klarifikasi bukan mempidanakan,” tandasnya. (kba)