Anies harus ekstra kerja keras meluluhkan hati partai politik dan sebaliknya partai politik juga harus membuka pintu hati lebar-lebar bagi figur-figur potensial non-kader partai seperti halnya Anies Baswedan.
Anies harus ekstra kerja keras meluluhkan hati partai politik dan sebaliknya partai politik juga harus membuka pintu hati lebar-lebar bagi figur-figur potensial non-kader partai seperti halnya Anies Baswedan.
JAKARTA | KBA – Nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terus menjadi pembicaraan. Menghiasi sejumlah pemberitaan berbagai media massa elektronik, cetak, maupun online.
Dua momentum turut mengerek nama Anies Baswedan, yakni hajatan lima tahunan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 dan masa bakti Anies sebagai gubernur yang tidak lama lagi akan berakhir pada 16 Oktober 2022.
Jakarta yang kini dinilai jauh lebih baik dan berkemajuan berkat sentuhan tangan dingin Anies Baswedan, dan bermunculannya relawan di sejumlah daerah yang menyuarakan Anies agar maju di Pilpres 2024, menunjukkan bahwa Anies Baswedan memang layak diperhitungkan.
Ada yang bilang, Anies harus naik kelas dari tampuk kepemimpinan orang nomor satu di tingkat provinsi menjadi RI-1. Apalagi namanya juga konsisten bertengger di tiga besar hasil survei sejumlah lembaga survei politik.
Namun, langkah untuk bisa melenggang maju dalam bursa calon presiden tidaklah ringan, mengingat maju atau tidaknya seseorang dalam pilpres (masih) tergantung dari partai politik. Pada bagian inilah, Anies harus ekstra kerja keras meluluhkan hati partai politik dan sebaliknya partai politik juga harus membuka pintu hati lebar-lebar bagi figur-figur potensial non-kader partai seperti halnya Anies Baswedan.
Gun Gun Heryanto, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, di Kolom Pakar, Media Indonesia, Senin, 11 Oktober 2021, mengemukakan, jika saat ini bursa nama figur-figur potensial mulai digadang-gadang.
Ia merujuk ke Judith Trend dan Robert Friendenberg dalam bukunya, Political Campaign Communication Principles and Practices (2015), tahap ini disebut sebagai tahap pemunculan (surfacing) sebelum ketiga tahapan lain dilakukan, yakni tahap primary, nominasi, dan pemilihan (election).
Pada tahap primary, kata Gun Gun, sangat menentukan karena dalam situasi kompetitif apakah kandidat mampu meyakinkan kekuatan politik seperti parpol memberikan tiket menjadi calon presiden/wakil presiden atau tidak.
Terlebih di Indonesia, pemilu presiden hanya bisa diikuti pasangan calon yang didaftarkan secara resmi oleh partai politik dan belum membolehkan munculnya kandidat independen. Di Indonesia, hal ini semakin kompleks mengingat tingginya syarat presidential threshold.
Lalu siapa sosok prospektif pada Pilpres 2024? Kata Gun Gun, banyak faktor yang bisa dicermati, dibaca, sekaligus dikalkulasi. Sudah pasti tidaklah faktor tunggal dan akan sangat dipengaruhi dinamika politik yang terjadi.
Namun, secara umum, sebut Gun Gun ada pola yang kerap berulang. Dari sisi komunikasi politik, sejak Pilpres pertama kali secara langsung pada 2004, ada dua gaya komunikasi politik yang kerap menjadi magnet elektoral kuat di setiap pemilu presiden. Kedua gaya tersebut, yakni the equalitarian style dan the structuring style.
Gun Gun menyebut Anies Baswedan masuk dalam kelompok gaya komunikasi the structuring style. Gaya ini menekankan keterukuran, kehati-hatian, wibawa diri dan aturan, sistematis, berpikir, serta berucap secara skematis dan terorganisasi.
Menurut Gun Gun, dalam menuju bursa capres 2024, paling tidak ada tiga tantangan utama yang akan dihadapi sejumlah figur yang kini digadang-gadang banyak orang. Pertama, serangan terhadap pribadi dan jabatan yang kini diemban. Anies Baswedan, misalnya, mulai mendapatkan banyak serangan.
Kedua, tantangan dalam manajemen citra dan reputasi politik mereka. Bagaimana mereka mengartikulasikan strategi publisitas politik serta public relations politik untuk tetap mendapatkan perhatian positif khalayak. Masa jabatan Anies sebagai Gubernur DKI akan berakhir pada 2022, dan pilkada baru akan berlangsung pada 2024.
Menurut Gun Gun harus piawai mengelola fase krusial tersebut agar tetap menjadi sosok prospektif pada pilpres mendatang.
Ketiga, tantangan komunikasi politik dengan elite-elite utama di partai politik yang akan mengusung ataupun mendukung mereka. Hal ini butuh kelenturan, jaringan, dan kepiawaian tersendiri mengingat tak mudah mengayuh di tengah kepentingan elite di satu sisi serta gelombang harapan publik di sisi lainnya. (kba)